Lihat ke Halaman Asli

Hamzet

Keterangan Profil harus diisi

Cerita Lain tentang Komodo

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar asal comot dari costumestore.com

[caption id="" align="alignleft" width="288" caption="Gambar asal comot dari costumestore.com"][/caption] Rambutnya basah klimis bergaya mohawk. Jangan bayangkan wajahnya yang kinclong adalah karena kulitnya berminyak. Bukan. Bukan itu sebabnya. Wajahnya  tampak berminyak karena lelehan vaselin yang ia gunakan sebagai minyak rambut. Tak heran rambutnya yang bagian tengah betah berdiri seharian membentuk model rambut masa kini berkat vaselin yang dicampur pipis kambing. Itulah Maskolis. Cowok gaul masa kini yang belum pernah menggauli seorang gadis (kalo nenek-nenek sih, konon kabarnya pernah).

Di bawah terik sang raja siang yang menyirami Kota Metropolitan Planet Kenthir, Zakarcity, dari rumahnya Maskolis mengayunkan langkahnya lebar-lebar ke Markas Kepolisian Resort Metro setempat. Ia tampak tergesa-gesa dan ingin segera sampai di sana. Lincah kaki Maskolis menyusuri jalan yang sedang dalam perbaikan namun ditinggal lari kontraktornya. Menjelang sampai di gerbang Mapolres Metro Zakarcity (MMZ), kaki Maskolis tersandung bongkahan batu sebesar semangka di tepi jalan.

“Sompret! Kurang ajar nih pemborong jalan. Naruh batu seenak udelnya”, umpatnya.

Sesampai di teras MMZ, Maskolis celingak-celinguk di pintu masuk. Sesekali ia mengintip jendela berlapis film hitam. Namun tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

“Hai..... met siang... ada yang bisa kami banting... eh bantu...?” sebuah suara merdu kemayu dari bibir sesosok tubuh kekar yang keluar dari balik pintu.  Sebuah tulisan yang nangkring di dada kanannya, seorang polisi nan gagah itu bernama Andreaneda Andrade dalam kurung AA.

“Eh... iya, Pak Pulisi. Gue mo lapur neh. Ke siapa?” sahut Maskolis seketika kesadarannya kembali yang beberapa saat lalu sempat hilang entah kemana.

“oooohhhhhhhhh..... lapur soal apa. Kalo mo lapor soal Kambing yang hamil, bukan dimari. USG dulu noh ke dokter Posma. Ntar ketauan deh siapa yang naruh benih janin di sana.” jelas Kompol AA masih dengan suara manja diselingi desah menggairahkan.

“Bukaaan... bukan soal Kambing. Ini soal Gue ndiri. Seseorang telah ngelakuin perbuatan yang nggak nyenengin Gue. Penghinaan!......” cerocos Maskolis sebelum akhirnya dipotong AA.

“Priiiiiiittttttt.... “ AA meniup peluitnya yang berbentuk mirip penis Bekantan keras-keras menghentikan cerocos Maskolis. “Stop!!! Ayo masuk dulu, biar gue catet masalah loe”

Maskolis pun dipersilakan duduk di sebuah kursi bertuliskan: ‘KURSI LISTRIK’. Maskolis tampak ragu untuk duduk di sana.

“Udah duduk aja. Daerah sini sedang mendapat giliran pemadaman listrik. Jadi, ga bakal kesetrum deh, loe.” Terang AA melihat Maskolis tampak ragu-ragu.

Mendapat info Kompol AA, dan menyadari bahwa biasanya pemadaman listrik oleh PLN berlangsung lama, Maskolis akhirnya mau duduk.

“Sekarang ceritain masalah loe”, perintah AA yang duduk menghadap meja. Di depannya teronggok sebuah mesin ketik tua peninggalan era kolonial.

“Begini, Pak...”

Belum selesai bicara, AA memotong. “Enak aja loe panggil Pak. Panggil Gue ‘Neng’”

“B... b...baik Neng Pulisi. Gue tersinggung banget. Gue dihina. Gue.... hiks...hiks......” tangis Maskolis pecah hingga tak mampu melanjutkan laporannya.

“cup...cup...cup.... sayang” dengan penuh kasih neng AA bangkit dari duduknya mendekati Maskolis yang terisak. Dibelainya pipi dan paha Maskolis dengan penuh kelembutan dan mesra. “Ayo terusin ceritanya”

“Gue dihina... Gue ga terima disebut sebagai KOMODO.... hiks”

“Siapa yang berani ngehina kek gitu. Kapan kejadiannya?” telisik AA sambil mengetik.

“Andee yang tega ngehina Gue”

“kapan dia bilang elo KOMODO?”

“Tiga tahun lalu”

“Tiga tahun lalu? Kenapa baru lapur sekarang?”

“Gue baru tadi nyadar kalo KOMODO itu ternyata adalah biawak super gede. Sebelumnya Gue kira KOMODO itu adalah sebutan bagi prajurit dengan tubuh berotot yang gagah berani menumpas kejahatan,”

“Wakakakakakak...... itu KOMANDO, Maskolissss......”

“Ya itulah, Neng pulisi... Makanya Gue baru lapur. Gue minta Andee diseret ke sini dan dihukum pancung!”

“Baik... akan Gue bikinin surat panggilan buat dia. Sekarang, sebutkan alamat Andee tinggal”

“Andee bermukin di Sacheon, Korea Kidul”

“Apppaaaaaaaaa....!!!, Korea? Sapa yang mo ngirim surat panggilannya ke sono?” AA berteriak kencang dengan mata mendelik karena kaget.

“Loh kenapa kaget??? Kan bisa dititipin ke Om Bain Saptaman. Beliau kan tinggal di Gunung Kidul. Tetanggaan tuh ama Korea Kidul”

“Tetanggaan dengkul loe ambles! Korea ama Gunung Kidul tuh jauuuuuhhhhh KOMODO!!!” ujar AA kesal. Suara baritonnya keluar  menggelegar. Seperti petir di siang menimpa celana bolong.

THE END

HAPPY 1st ANNIVERSARY, PLANET KENTHIR...!

Hamzet, penyair kenthir berdarah

Prolinx, 201011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline