Bukan hal yang mengagetkan lagi. Hampir seluruh negara sedunia hingga hari ini kewalahan memberikan inovasi terbaik bagaimana agar sistem pendidikan secara daring ini berlangsung secara efektif. Bicara mengenai negara-negara yang menggunakan sistem daring (dalam jaringan), Indonesia agaknya menjadi salah satu yang terseok-seok untuk beradaptasi dengan tantangan alam ini.
Meminjam analogi Buya Syafii Maarif, jika diibaratkan dengan pasien sakit, Indonesia seharusnya sudah dirawat di ruang ICU, tetapi karena para stakeholders negara yang tidak peka, sehingga hanya dirawat di ruangan kelas III. Yang sakit menjadi tambah sakit, yang sinting menjadi tambah banyak, yang sehat menjadi sedikit sehingga kewalahan membantu Indonesia menjadi sehat kembali.
Banyak sekali keluhan-keluhan dari masyarakat dalam menghadapi era pendidikan serba daring. Banyak faktornya, tetapi barang kali tidak bisa dijabarkan secara rinci dalam kesempatan tulisan ini. Dimulai dari sulitnya masyarakat mengakses internet, hingga minimnya keterampilan dari pihak sekolah atau guru-guru untuk melangsungkan pembelajaran efektif kepada murid-muridnya.
Mendikbud sendiri menegaskan perlunya ada upaya gotong royong antara masyarakat dan pemerintah untuk memberikan inovasi dan ide-ide yang eksperimentatif dalam menghadapi era daring ini.
Kaitannya dengan kegiatan KKN di UIN Walisongo. Kebijakan memberlakukan KKN secara daring pun juga tidak bisa terelakkan. Sama seperti pada umumnya. Hampir di setiap kelompok KKN juga memiliki masalah, hambatan, dan tantangan yang beragam ketika melaksanakan KKN daring ini.
Penulis tidak bisa mengetahui rinci permasalahan apa saja yang ada di setiap kelompok, tetapi penulis mengetahui hal itu minimal melihat dari curahan-curahan hati para koordinator di grup yang diisi oleh pihak LP2M dan para koordinator. Selain itu penulis mengetahuinya dari hasil komunikasi japri (jalur pribadi) dari beberapa koordinator tim-tim tetangga. Di antaranya permasalahannya adalah,
Pertama, akses internet. Sejak awal memasuki pembahasan KKN, seperti pembekalan, dll, sudah bermunculan keluhan dari kawan-kawan terkait sulitnya mengakses internet. Padahal akses internet adalah amunisi yang paling utama di era daring ini. Sehingga kawan-kawan yang mendapati hambatan ini mereka akan mengalami ketertinggalan informasi, miss persepsi, miss koordinasi, dan berbagai miss lainnya. Tidak sedikit kawan-kawan yang rela mencari akses internet dengan mendaki bukit, memutari kebun rumahnya, hingga memanjat atap rumahnya.
Kedua, fasilitas pendukung. Selain harus mendapatkan amunisi utama (internet) seperti yang telah Penulis kaji di atas. Tentu, demi kelancaran dan kesuksesan seluruh rangkaian KKN, peserta harus didukung oleh fasilitas lainnya. Seperti kuota internet, unit gadget yang memadai, relasi pendukung, dukungan masyarakat setempat, terakhir adalah biaya tambahan. Akan penulis uraikan sedikit terkait minimnya akses di berbagai fasilitas pendukung di atas yang ditemui oleh kawan-kawan KKN.
Kuota internet, tidak perlu panjang lebar. Semua mengetahui berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang-pergi ke konter pulsa sekaligus membeli kuota internet tertentu yang mendukung sinyal sesuai daerah tinggalnya masing-masing. Tidak jarang dari kawan-kawan yang harus membeli paket internet dengan harga yang cukup mahal.
Unit gadget, untuk mendapatkan aplikasi pendukung video conference seperti zoom atau google meet dan aplikasi berbasis editing, tentu tidak bisa menggunakan gadget "kentang". Padahal tidak semua kawan-kawan secara merata memiliki unit gadget yang memadai ini.
Penulis sendiri beberapa kali berkeliling menemui kawan-kawan yang bisa membantu menginstalkan aplikasi pendukung di gadget penulis, karena gadget yang hanya berlevel "kentang", mau tidak mau dan suka tidak suka harus rela terpotong tenaga dan waktunya keliling-keliling "minta tolong". Semua itu untuk memenuhi tuntutan tugas di setiap rangkaian KKN.