Sore yang damai, dengan deretan pembeli yang mengantre sebungkus makanan lontong sayur lodeh, yang menurut masyarakat setempat disebut dengan "sompil". Makanan ini merupakan makanan favorit dan sangat familiar di desa. Tangan renta itu masih lincah melayani para pembeli yang setia berderet, hingga matahari larut berselimut dibalik malam yang terkadang luput.
Waktu maghrib pun sirna. Berganti malam. Burung-burung bergerombol pulang dengan membentuk huruf V. Waktu boleh berganti. Sekawanan burung yang pergi pun akan kembali. Namun tidak dengan topik obrolan di warung sompil mak Dopa. Obrolan itu semakain malam semakin menghangat. Suapan demi suapan sendok yang mendarat ke mulut beriringan dengan obrolan yang sedang naik daun pada bulan-bulan ini; berita politik dan pemilu.
Semakin malam, berita politik yang meriuhkan warung mak Dopa semakin hangat. Tidak hanya menggosipkan setiap calon presiden maupun caleg. Kini obrolan bergeser ke topik yang sedikit pragmatis, yaitu tentang "sangu". Mayoritas masyarakat setempat sudah akrab dengan kata itu. Ibarat kalimat sihir yang sekali diucap, semua masyarakat akan famam. Ketika sangu diberikan, seakan masyarakat akan otomatis tunduk dan meberikan hak suaranya. Ia ibarat rajah yang memiliki kode; suaramu aku beli.
Dibalik dinding pemisah berukuran setengah badan orang dewasa, antara meja makan pembeli dan dapur penjual, mak Dopa dengan tangan keriputnya memegang piring sambil bergumam, "Menungso kok gelem di tuku murah suarane". Memilih pemimpin itu bukan seperti kita pergi ke warung terus bingung mau membeli bakwan atau tahu isi. Yang ketika mau membeli hanya mempertimbangkan soal rasa dan ukuran. Memilih pemimpin itu adalah perkara penting dan harus benar-benar bersumber pada hati nurani dan akal sehat. Bukan bersumber pada uang. Karena uang itu tidak bisa mikir". Mak Dopa gerah.
Ungkapan itu tidak dindahkan oleh Nurdin si juragan ayam petelor. Sontak ia mengernyitkan dahi dan menyindir mak Dopah. "Mak Dopah ki ora ngerti opo-opo, enggak usah dipercaya omongan mak Dopa. Dia itu tahunya hanya soal warung dan dapur. Tahun ini adalah tahun politik, pesta demokrasi. Yang namanya pesta itu ya hura-hura. Contohnya bagi-bagi duit, hahahahaha". Nurdin tertawa sambil memasang wajah mengejek Mak Dopa.
Sambil mengelus dada dan menyebut nama Tuhan berulang kali, mak Dopa tetap melanjutkan aktivitasnya mencuci piring di belakang warung. Ia merenung sambil sesekali mengusapkan ujung bawah bajunya ke mata. Ia sangat menyayangkan jika masyarakat di desanya sangat pragmatis dan tidak belajar dari peristiwa-peristiwa Pemilu yang sudah terjadi. Banyak para calon pemimpin yang bisanya hanya obral janji dan memajang foto di pinggir-pinggir jalan. Ia mencari tim sukses yang bisanya cuma mencari mangsa untuk dikasih uang.
"Oh, uang, kau laksana mantra guna-guna yang sekali nempel, mangsamu pasti tidak berdaya. Oh, uang, kau seperti rajah yang dimasukan ke dalam amplop karena orang yang menggunakan jasamu adalah orang yang tidak percaya diri." mak Dopah bersenandung hingga piring terakhir.
Jam kotak tua yang menempel di dinding warung menunjuk pukul setengah sepuluh. Obrolan tentang sangu tidak juga kunjung usai. Obrolan itu justru menjadi topik yang panas. Sepanas asap yang keluar dari mulut cangkir kopi yang menari-nari, seraya ikut merayakan asyiknya perbincangan antara politik dan uang.
Kini obrolan politik dan uang seperti sepasang pengantin yang tidak direstui oleh masing-masing orang tuanya. Keduanya sama penting. Tetapi ketika tidak difungsikan sebagaimana mestinya, ia seperti dua mata koin yang terlihat dalam satu wadah namun memiliki dua wajah. Begitupun Nurdin yang sedang bersandar di kursi kayu sembari menyeduh kopi. Ia terus saja melanjutkan obrolan itu dengan bumbu-bumbu janji. Sepertinya ia memiliki kepentingan pada momen pemilu ini. Maklum jika ia selalu menyanggah pendapat orang-orang yang berseberangan dengan tujuannya, termasuk mak Dopa.
Kepulan asap pada mulut cangkir kopi sedikit demi sedikit menghilang. Cangkir kopi hanya tersisa ampas. Orang-orang yang semula meriuhkan suasana di warung sompil mulai berkurang. Tersisa mak Dopa sendirian. Ia kemudian berjalan ke kiri menuju kran untuk mengambil air wudhu. Air yang dingin karena udara malam, tidak menggentarkan niat mak Dopa untuk sholat sebelum tidur.
Diatas sajadahnya, mak Dopa berdoa. Ia hanya bisa menengadahkan tangan ke langit untuk meminta pemimpin yang jujur dan adil. Memang selemah-lemahnya iman adalah ketika ia hanya bisa berdoa tanpa mampu berbuat. Tetapi apalah daya dengan orang yang sudah larut usia itu. Masih untung masih sadar tentang bahaya polik uang. Meskipun ia sudah tua, tetapi semangatnya untuk berdoa belum usai. Kalimat demi kalimat doa terus ia ucapkan hingga ujung harapan ada malaikat yang sedang melayang dilangit menyambar doanya.