Fenomena survei yang menjamur di masyarakat menjelang pemilu dengan bebagai kompleksitas hasil survei yang di terbitkan oleh berbagai lembaga survei menimbulkan kebingungan dan sikap skeptis pada publik. Sikap skeptis tersebut di sebabkan oleh banyaknya lembaga survei dengan hasil yang bervariasi. Perbedaaan hasil survei tersebut bukan hanya terkait dengan metodelogi yang kurang transparansi tetapi juga sumber pendanaan yang kurang terbuka.
Dari aspek metodelogi yang kurang transparan seperti jumlah populasi dan sampel dalam survei, teknik penentuan sampel dan teknik pengambilan sampel yang kurang transparansi, terkadang lembaga survei atau media melaporkan ke publik bahwa teknik pengambilan sampel dengan multi stage random sampling tetapi tidak di jelaskan secara rinci berapa responden setiap wilayah yang di jadikan sampel mewakili populasi. Begitu pula tekinik pengumpulan data dengan wawancara langsung (face to face) dan dengan menggunakan telepon akan menimbulkan gap (kesenjangan). Sehingga berpotensi memperoleh hasil survei yang berbeda.
Di dalam teori metodelogi, perbedaan dalam urutan pertanyaan dapat mempengaruhi hasil survei terutama beberapa pertanyaan kunci yang tidak di ungkapkan secara transparan. Jika dua survei di lakukan dengan metode dan sampling yang sama tetapi dengan urutan pertanyaan yang berbeda hasil nya akan berbeda. Terkadang lembaga survei merilis hanya beberapa pertanyaan yang di seleksi dan tidak secara transparan membuka semua daftar pertanyaannya. Misalnya survei tentang tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, Jika pertanyaan awal soal kebebasan berpendapat dan soal Mahkamah Konstitusi maka hasil survei akan menempatkan kepuasan publik terhadap Jokowi rendah, tetapi jika pertanyaan awal soal bantuan sosial (bansos) maka hasil survei akan menempatkan kepuasan publik terhadap Jokowi tinggii tetapi di rilis oleh lembaga survei dan media adalah tingkat kepuasan publik terhadap jokowi tinggi tanpa di rinci dengan transparant dan terbuka semua pertanyaan dalam survei. Begitupun daftar pertanyaan dalam survei capres atau caleg tidak di sampaikan secara rinci dan transparant semua daftar pertanyaan kepada publik. Selain itu tingkat akurasi dan potensi bias juga harus di sampaikan secara terbuka kepada publik. Sehingga publik dapat mengetahui tingkat akurasi atau ketepatan data dan potensi bias atau penyimpangan data hasil survei.
Selain metodelogi yang kurang transparant, sumber pendanaan survei yang tidak di rilis secara terbuka juga menjadi kekhawatiran publik, jumlah responden yang besar dengan 38 propinsi di indonesia membutuhkan dana yang besar untuk melakukan survei. Sehingga di butuhkan support dana dari pihak ketiga, lembaga survei harus secara transparant menyampaikan kepada publik, pihak yang mejadi penyandang dana survei sehingga tidak menimbulkan sikap skeptif masyarakat serta mencegah potensi manipulasi hasil survei untuk kepentingan penyandang dana.
Hasil survei yang di umumkan secara terbuka merupakan informasi bagi khlayak yang bisa menjadi landasan dalam membuat argumentasi maupun keputusan, jika surveinya benar maka tidak menimbulkan masalah, namun jika surveinya salah maka akan berpengaruh (buruk), besar kecilnya pengaruh masih di perlukan penelitian khusus.
Hasil studi menunjukan bahwa masyarakat indonesia tidak mudah di pengaruhi hasil survei, namun secara psikologis orang yang preferenasinya di pengaruhi oleh faktor konfirmasi sosial dan tidak memiliki penilaian yang tegas berpotensi di pengaruhi hasil survei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H