Lihat ke Halaman Asli

Hamzah Nasution

Wiraswasta

Data BPS: 4,7 Juta Warga Jakarta Ngekos dan Ngontrak

Diperbarui: 18 Februari 2017   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan tingkat kepadatang 15.328 jiwa per km2, Jakarta menghadapi problem perumahan yang akut| sumber : print.kompas.com

Beberapa hari belakangan, warganet, terutama di media sosial riuh memperdebatkan uang muka (DP) pembelian rumah 0% atau 0 rupiah yang jadi program paslon Cagub DKI Anies-Sandi. Banyak yang menyangsikan ihwal realistis tidaknya janji kampanye tersebut. Media bahkan mengkonfrontasi ke Bank Indonesia mengenai bisa tidaknya program itu dilaksanakan.

Tak urung, Gubernur BI Agus Martowardojo angkat bicara. Membeli rumah tanpa uang muka menyalahi aturan otoritas, terang Agus seperti diwartakan oleh kumparan.com. namun, sejumlah pendukung Anies-Sandi membantah bahwa program rumah 0 rupiah itu menyalahi aturan.

Mereka berargumentasi bahwa Pada pasal 17 Bagian Ketujuh PBI No.18/16/PBI/2016 tentang Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, tercantum pengecualian untuk penurunan DP 15% yang diatur secara umum. Disitu disebutkan bahwa Program Perumahan Pemerintah dapat dikecualikan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan.

Pendukung Anies-Sandi juga menyitir pendapat Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja yang mengatakan jika usulan DP KPR 0 persen bisa saja diberlakukan di bank milik pemerintah seperti Bank DKI, namun tidak bisa diterapkan di bank komersial. Pendapat senada disampaikan Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Kusumahargo bahwa program tersebut sangat mungkin dan bahkan telah diberlakukan dengan menggunakan skema jual beli syariah.

Terlepas dari perdebatan sengit antara antara dua belah pihak yang pro dan kontra, fakta statistik membenarkan jika wraga DKI memang butuh rumah murah dan terjangkau. Diberitakan oleh Okezone.com, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 51,09 persen keluarga di DKI yang tinggal di rumah milik sendiri. Artinya ada 4,7 juta jiwa penduduk DKI yang ngontrak, ngekos atau tunawisma (total penduduk DKI saat ini 9,6 juta jiwa). Sebagai perbandingan, di tingkat nasional angka kepemilikan rumah mencapai 82,63 persen.

Ada banyak alasan mengapa rumah yang merupakan basic needs, terlebih di kota metropolitan macam Jakarta, berubah menjadi barang lux.

Pertama, Lahan Semakin Sempit

Sudah bukan rahasia lagi, Jakarta merupakan kota super crowded di Indonesia. Menyitir data yang dipublikasikan BPS tahun 2016, tingkat kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.328 jiwa per km2. Kepadatan itu rasio lahan dan manusia, belum termasuk dengan keberadaan gedung-gedung, hunian ilegal, perilaku parkir maupun menjajakan dagangan secara liar yang berkonsekuensi pada penyempitan lahan dan ruang gerak.

Dengan berbagai faktor yang berakibat pada penyempitan lahan, maka mendirikan hunian menjadi hal yang sulit di Jakarta. Tampaklah pemandangan yang tak karuan kehidupan di gang-gang. Tengok saja di kawasan Pademangan, Jakarta Utara atau di kawasan Pasar Burung Jakarta Timur, tak ada lagi opsi mendirikan bangunan baru karena persoalan lahan tersebut. Karena bahkan lahan parkir pun, harus rebutan dengan pejalan kaki dan akses lalu lalang kendaraan.

Kedua, Harga Hunian Tinggi

Konsekuensi logis dari lahan yang langka tentu saja pada harga properti. Di beberapa kawasan perkantoran dan sentra ekonomi, harga lahan sudah mencapai ratusan juta rupiah. Seperti lahan kosong di SCBD Jl. Sudirman yang dipatok pada harga Rp 200 juta permeter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline