Lihat ke Halaman Asli

Renungan Dari Pantai Pink Yang Penuh Sampah Saat Libur Lebaran (Lombok Post 26 Juli 2015)

Diperbarui: 2 Agustus 2015   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Take nothing but pictures (jangan mengambil apapun kecuali gambar), leave nothing but foot print (jangan meninggalkan apapun kecuali jejak kaki), kill nothing but time (jangan membunuh apapun kecuali waktu).” Itulah kode etik petualangan di alam terbuka yang seharusnya selalu dipegang teguh para pelakunya. Namun sayang tidak semua orang tahu kode etik tersebut. Parahnya lagi yang tahu pun seringkali hanya sekedar menempatkanya sebagai rangkaian kata-kata indah.

Lebaran usai. Liburan dimulai. Puluhan destinasi di Lombok menjadi venue hajatan tahunan berikutnya. Puluhan ribu orang dari beragam latar belakang berbondong-bondong menyerbu pantai, gunung, juga apapun bentuk eksotisme alam yang tersedia di pulau eksotis ini. Ada yang menggunakan mobil penumpang dengan beragam bentuk dan ukuran, mobil bak terbuka, sepeda motor, hingga sepeda. Suatu hal positif bahwa setelah “ber-jihad” selama sebulan penuh melalui ramadhan dan merayakan hari kemenangan, ada kecenderungan masyarakat benar-benar memanfaatkan alam untuk berekreasi. Hal positif lain adalah gencarnya promosi pariwisata Provinsi NTB yang seolah sinergi dengan begitu cepat terkenalnya berbagai destinasi wisata di Pulau Lombok.

Juga begitu nyatanya laju pembangunan jalan di berbagai sudut pulau Lombok. Arus investasi pun cukup gencar dan telah nyata memberikan kontribusi terhadap perubahan wajah pada beberapa titik di Pulau Lombok. Namun sayangnya kedua hal tersebut bertemu pada satu titik yang sangat memprihatinkan. Rupanya kecenderungan untuk menikmati keindahan alam serta pesatnya arus pembangunan tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat tentang sampah. Lihat saja Pantai Pink yang beberapa tahun lalu masih perawan. Empat hari setelah Idul Fitri kami melakukan perjalanan kesana bersama keluarga. Sungguh bangga melihat masyarakat berbondong-bondong menuju semenanjung tenggara Pulau Lombok tersebut. Mereka melakukan perjuangan hebat untuk mencapainya karena 13 kilometer terakhir menjelang Pantai Pink tidak ada jalan beraspal mulus, melainkan jalan tanah bercampur batu. Virus petualangan benar-benar mewabah. Namun begitu tiba di Pantai pink kita akan terkejut melihat sampah berserakan dimana-mana serta terlihat menumpuk pada beberapa titik yang seolah dianggap sebagai ‘tempat sampah’. Tak jauh dari mobil terparkir terdapat sebuah keluarga yang menggelar tikar dan sedang menyantap beberapa jenis makanan. Saat beranjak pergi mereka membiarkan begitu saja beberapa jenis sampah mulai dari sisa makanan, tissue, hingga plastik dan botol minuman kemasan yang juga terbuat dari plastik! Saat seseorang dengan dandanan seperti “pecinta alam” mencoba menegur, salah satu anggota keluarga tersebut hanya memberikan argumentasi yang kurang lebih akan bermakna nanti juga akan ada yang mengurus. Bahkan salah satu anggota keluarga kami pun ada yang dengan seenaknya membuang plastik bekas makanan. Ketika sang kakak menegurnya jawabannya pun kurang lebih sama.

Setelah (tidak) puas menikmati Pantai Pink, kami pun memutuskan bergerak ke Tanjung Ringgit. Jalan menuju ke tempat ini setingkat lebih ekstrim dan secara alamiah hal ini pun menjadi filter jumlah pengunjung. Bayangkan saja selain jalan tanah yang tingkat ketidakmulusannya lebih parah, kemiringan lebar jalan juga membuat adrenalin bergelora. Kami berhenti di sebuah titik dan menyaksikan begitu indahnya bukit-bukit vertikal dan rangkain bebatuan yang langsung berpadu dengan ganasnya ombak samudra. Lantas apakah tempat ekstrim tersebut bebas sampah? Tidak! Kami masih menjumpai beberapa bungkus makanan kemasan meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dengan di Pantai Pink.

Selama perjalanan pulang saya terus merenungkan ironi sampah tersebut. Apakah memang cara berpikir saya yang tidak lazim, atau ada kebiasaan umum yang memang dilazimkan. Namun saya mencoba yakin bahwa agama dan ilmu pengetahuan umum sejatinya tidak melazimkan hal tersebut.

Hakikat utama dari tempaan rohaniah selama ramadhan membuahkan hasil yaitu manusia yang bertakwa sesuai dengan tujuan diwajibkannya puasa bagi orang beriman di dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Apapun definisi takwa, yang umum dipahami adalah konsep menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika memang demikian, maka kebanyakan manusia tentu gagal dalam bertakwa karena Allah pun melarang kita membuat kerusakan di muka bumi. Misalnya surat Al A’raf ayat 56: “Dan janganlah kami membuat kerusakan di muka umi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Jika keberagamaan kita benar-benar disadari sebagai penyerahan diri kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang mengatur seluruh sendi kehidupan kita, niscaya di dunia ini tidak akan ada sampah yang dibuang sembarangan. Tak perlu kita berargumentasi akan fakta ini dan jauh lebih baik jika mawas diri dengan men-tadabburi ajaran-Nya.

Mayoritas dari kita pun tentu pernah mengenyam Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah dasar, bahkan sebagian tentu berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Tak jarang juga di antara kita yang pernah mendengar atau membaca tentang sampah non-organik yang mencemari lapisan bumi dan kerusakan alam lainnya. Bahkan kearifan lokal kita pun pada umumnya juga mendorong pelestarian alam. Namun logika kita mati. Kita tidak pernah berpikir dan memiliki kesadaran akan sampah. Seandainya pun ada yang mengelola, apakah elok jika kita membiarkan begitu saja sampah berserakan di atas tanah (dan sebagaian bisa terbawa ombak dan mencemari laut) dan berpikir akan ada orang yang memungut sampah tersebut satu per satu? Tak perlu kita mencari asalan akan fakta ini karena bebeberapa destinasi di Lombok yang sudah disediakan tempat sampah pun masih ada saja sampah berserakan. Masalahnya bukan pada tidak adanya prasrana tetapi kepedulian individu yang terakumulasi menjadi kepedulian bersama. Gencarnya promosi wisata menjadi buah simalakama yaitu kerusakan lingkungan yang menjadi ancaman nyata.

Faktor manusia sungguh bisa berdampak pada berbagai hal di muka bumi ini karena sesungguhnya manusia memiliki tugas yang begitu penting yaitu sebagai khalifah (wakil Allah) dengan memanfaatkan, mengelola, dan memelihara alam semesta. Namun sepertinya kita terlalu banyak membuat sensasi tanpa esensi. Rupanya keberagamaan kita selama ini hanya disibukkan dengan ritual-ritual yang tak jelas dalil serta sangat minim substansi dalam hal penghayatan dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Rupanya pendidikan kita selama ini hanya ditandai dengan pentingnya nilai di atas kertas, gelar akademis yang dicapai, serta tujuan materiil semata.

 

-Hz-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline