" Bukan lautan, hanya kolam susu...", ini salah satu bait lagu yang seolah menggambarkan kondisi laut Indonesia semakin 'tawar'. Negeri yang kaya akan limpahan SDA bahkan dikatakan sebagai kepulauan terbesar di dunia.
Terbentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan. Namun sayang, adanya SDA yang melimpah ruah dengan luasnya lautan justru pemerintah masih terang-terangan membuka kran impor.
Seperti dilansir dari Kompas.com, 19 Maret 2021, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkapkan alasan pemerintah membuka kembali impor garam sebanyak 3 juta ton pada tahun ini. Hal itu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas garam lokal. Ia menjelaskan, pada dasarnya garam impor tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. Menurut Mendag, kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang dibutuhkan industri.
Impor garam di tahun ini melanjutkan tren kenaikan setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Jika terealisasi seluruhnya, impor 2021 ini juga akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai pada 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton. (Tirto.co.id,17/03/21)
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.
Setelah membeberkan beberapa rencana terkait komoditas impor pangan diantaranya impor beras dan jahe. Kini, pemerintah kembali membuka impor garam setelah melanjutkan tren 5 tahun terakhir. Padahal sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat mengumumkan kepada jajarannya dan masyarakat untuk benci produk asing dan lebih mencintai produk lokal. Namun sayang, dibalik gaungnya cinta produk dalam negeri pemerintah semakin doyan mensuplay produk luar negeri.
Disisi lain, Indonesia telah menargetkan swasembada garam pada 2025. Namun hal itu hanya sebatas wacana sampai saat ini, karena pada kenyataanya impor garam masih terus dilakukan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/3/2021), realisasi impor garam Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta ton dengan nilai mencapai US$ 94,55 juta. Secara volume kebutuhan itu meningkat dibanding realisasi impor pada 2019.
Bak disambar petir, akhirnya rakyat harus menahan penderitaan akibat kebijakan pemerintah yang kembali membuka kran impor untuk komoditas pangan. Hal ini seolah menggambarkan, negara tak mampu mengurus kepentingan rakyat. Di samping negara tak mampu memberi regulasi yang tepat dalam tata kelola terkait pengelolaan hasil bumi dan pemberdayaan petani.
Adanya kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah semakin menunjukan lemahnya eksistensi negara. Impor menjadi senjata utama negara dalam menyelesaikan berbagi persoalan pangan ditengah melimpahnya hasil produksi pangan. Inilah yang menjadi pertanyaan besar, mengapa hal demikian bisa terjadi? Alih-alih ingin menyejahterakan petani lewat wacana swasembada pangan, pemerintah justru tega membunuh lewat kebijakan impor.
Persoalan pangan yang dibayang-bayangi lewat kebijakan impor sejatinya lahir dari sistem ekonomi neoliberal. Adanya kebijakan impor kian semakin menampakkan wajah buruk pemerintah dengan sistem demokrasi kapitalismenya. Sistem yang rusak yang sejak masa kemunculannya hanya mementingkan para pemilik modal atau kaum penguasa kapitalis.