Front Pembela Islam (FPI) resmi menjadi organisasi terlarang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken tiga menteri dan tiga kepala lembaga negara lainnya pada Rabu (30/12/2020) lalu.
Usai organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) resmi dibubarkan, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menyampaikan permintaannya kepada pemerintah terkait ormas keagamaan lainnya. Basarah meminta agar pemerintah bisa lebih merangkul dan mendukung organisasi keagamaan yang moderat dan loyal mendukung persatuan serta kesatuan bangsa.(kompas.com, 03/01/21)
Menyikapi hal tersebut, FPI seolah merupakan partai paling berbahaya di Indonesia seperti halnya yang pernah dituduhkan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Terbukti setelah pencabutan BHP keorganisasian HTI pada tanggal 19 Juli 2017 kini menyusul pembubaran organisasi FPI dengan alasan yang sama tak lain berhaluan keras, mengancam eksistensi Ideologi bangsa serta mengancam konsensus dasar negara yakni UUD 1945, pancasila, NKRI dan Kebhinekaan Tunggal Ika yang menurut pemerintah hal tersebut termaktub dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Polemik pencabutan badan hukum hingga pembubaran sebuah partai atau organisasi sebenarnya bukan terjadi kali ini saja yang menimpa HTI maupun FPI. Pada tahun 1960-an pada masa Orde Lama kepemimpinan Presiden Soekarno, Masyumi merupakan salah satu partai Islam yang menjadi korban keotoriteran rezim kala itu. Organisasi ini dibubarkan oleh Soekarno karena diduga melakukan pemberontakan terhadap gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Selain dituding melakukan pemberontakan, organisasi Masyumi kala itu kerap melontarkan berbagai kritikan kepada Soekarno. Diantara kritikan yang semakin mengancam eksistensi Soekarno adalah saat dirinya mengemukakan konsep demokrasi terpimpin yang dianggap oleh Masyumi menyalahi konsep demokrasi. Tak hanya itu kritikan pun dilontarkan karena Sang Proklamator bertindak otoriter, tidak demokratis dan lebih condong kepada partai tertentu.
Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Mahkamah Agung resmi membubarkan Masyumi sesuai Tap Presiden tahun 1959. Kemudian Soekarno pun menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 untuk membubarkan partai tersebut. Dan
pada tanggal 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan Partai Masyumi bubar.
Apa yang menimpa Masyumi sebagai organisasi Islam tertua di Indonesia, tak beda jauh halnya dengan yang dialami baik HTI maupun FPI. Aktivitas kedua organisasi kemasyarakatan ini pun kerap melontarkan kritikan terhadap kebijakan rezim saat ini. Kebijakan yang terbilang otoriter dan jauh dari sifat demokratis yang sesungguhnya.
Ketika penguasa otoritar nan zalim melihat tanda-tanda kejatuhannya mereka menjadi panik, menindas dengan kekuasaan, membungkus niat jahat dengan kebohongan dan menjadi uring-uringan. Kekuasaannya segera dibentengi dengan perangkat kekuasaan di bawahnya. Sikap intoleransinya terhadap kritik bisa berwujud fitnah, intimidasi, ancaman, pemecatan, sampai perang urat saraf.
Bahkan tak ada bedanya gaya kepemimpinan sejak orde lama hingga masa reformasi. Hasil kepemimpinan setiap masa pemerintahan justru hanya melahirkan kebijakan yang mematikan kebebasan setiap individu hingga keorganisasian. Walhasil banyak aktivis yang dibungkam, ulama di kriminalisasi, hingga pembubaran ormas yang dianggap sebagai ancaman kesatuan bangsa karena tak sejalan dengan prinsip demokrasi serta ideologi bangsa. Padahal, pernyataan ini hanyalah untuk menutupi serangkaian kegagalan rezim dalam mengurusi persoalan negara.
Di samping adanya kebijakan setelah disahkannya Omnibus Law yang memungkinkan bangsa ini akan di 'banjiri' para investor dan TKA. Maka, pasca pembubaran ormas yang lantang menentang kebijakan rezim Jokowi dianggap bukan lagi sebuah penghalang karena seluruh aktivitasnya telah dilarang. Pembubaran kedua ormas ini pula membawa angin segar bagi partai atau ormas yang menjadi penjilat rezim agar mampu mendapatkan kekuasaan bahkan dikendalikan oleh penguasa.
Meski demikian, HTI dan FPI mampu eksis meskipun kedua ormas ini telah dicabut BHPnya. Seperti HTI yang tetap berpegang teguh pada perjuangan dakwahnya dengan fikroh dan toriqohnya, organisasi kemasyarakatan ini mampu membongkar kebusukan serta setiap kebijakan rezim yang tidak pro kepada rakyat. Beda halnya dengan FPI meski telah dinyatakan bubar dan dihentikan aktivitasnya, ormas ini kemudian berganti nama dengan Front Persatuan Islam. Namun sayang, pemerintah tetap ngotot pada kebijakannya agar ormas tersebut tidak beraktivitas seperti biasanya.