Lihat ke Halaman Asli

Hamsiah Hamsi

Pejuang Literasi

Berkebun

Diperbarui: 31 Agustus 2020   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hamparan sawah yang luas, membentuk oase yang sangat indah. Padi-padi yang ditanam kini sedang menghijau. Sejauh mata memandang adalah area persawahan masyarakat. Matahari bersinar cerah dibalik Bukit Gao. Menyinari padi-padi yang sedang menghijau. Riak air bergemuruh gemercik, mengalir ke sawah-sawah. Membentuk tingkatan-tingkatan dari permukaan tinggi ke permukaan yang rendah. Ini adalah berkah kepada masyarakat yang berada dekat dari bukit. Ikan-ikan kecil berenang kesana-kemari, menari berdansa dengan cara mereka masing-masing. Beberapa burung terbang diatas hamparan sawah, bersiul menikmati indahnya suasana pagi hari itu.

Hari masih pagi, kawasan paling pinggir desa Ambai tampak masih lenggang. Belum banyak aktifitas yang dilakukan. Hanya ada beberapa petani sudah terlihat sibuk menyiangi sawah miliknya. Sebagian lainnya terlihat sedang menyandang tangki sprayer merek solo tipe 425 di punggungnya. Spreyer dengan kapasitas lima belas liter itu adalah pompa semprot yang masih manual, yang dipakai untuk menyemprot obat hama agar padi tidak diganggu oleh hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen.

Dibagian utara, di atas lahan seluas 20M x 15M, tampak menghijau tanaman bayam. Iya, benar disana adalah ladang bayam Nenek. Pagi ini kami aku berada di kebun ini. Kebun yang tumbuh subur itu. Kegiatan hari ini adalah panen bayam. Yang nantinya akan dijual di pasar mingguan yang setiap hari Minggu digelar di Desa Ambai.

Hari ini aku bersama cucu nenek yang lain yaitu Uswa, Hurya, membantu nenek. Mereka adalah sepupu dari adik Ibu. Kami sangat senang dalam suasana pagi ini.

Angin pagi berhempus, semilirnya menerpa wajah. Alam begitu kental terasa. Ini adalah suasana nyaman yang sulit ditemukan di perkotan. Bebas dari polusi. Bebas dari macet. Bebas dari hiruk pikuk. Yang ada, hanya ketenangan, penuh kekeluargaan.

Nenek berpesan, “Bayamnya yang dicabut adalah ukuran besar saja ya,” penjelasan nenek berlanjut, “yang kecil ini, bisa di panen dalam tiga hari dan empat hari kedepan.”

Aku, Uswa, Hurya menjawab serentak, “Siap, Nek!”

Tangan kami cekatan, tanah-tanah yang gembur memudahkan hal memanen bayam. Kami mulai mencabut bayam-bayam yang berukuran kira-kira satu jengkal orang dewasa. Selang beberapa waktu hasil panen kami sudah lumayan.

Nenek kebagian mengikat hasil panen kami. Beliau berada di pojok lahan. Dibawah pohon alpukat yang rindang.

            “Hurya, ini kamu antar ke tempat nenek ya!” karena aku yang paling besar diantara mereka, jadilah aku mengkoordinir mereka pagi itu. “ini sudah tersusun rapi, tinggal dibawa saja.”

            “Oke, siap kakakku yang cantik dan baik hati.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline