Lihat ke Halaman Asli

Meunasah adalah Ruang Publik Kotaku

Diperbarui: 2 Oktober 2015   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar : webblogkkn.unsyiah.ac.id

Saya dilahirkan dan tumbuh di kota Lhokseumawe. Sebuah kota di pesisir utara provinsi Aceh. Salah satu ruang publik yang ada di kota kami adalah Meunasah atau Langgar. Bentuk bangunannya tidak jauh beda dengan balai atau rumah panggug setengah terbuka. Dan lokasinya tidak jauh-jauh dari kuburan.

Ketika berusia 5 tahun orang tua menitip saya pada seorang teungku (ustaz) yang mengajar mengaji di Meunasah - setiap malam sehabis Magrib. Sejak itu saya mulai akrab dengan kehidupan Meunasah dan kadang-kadang menjadi figuran pada acara-acara penting di Meunasah.

Pada usia 12 tahun saya sudah bawa “koper” ke Meunasah dengan beberapa peran dalam berbagai kesempatan. Kadang-kadang jadi muazin, kadang-kadang jadi undangan kehormatan pada acara tahlilan, dan kalau lagi sial jadi tukang cuci karpet. Meskipun tidak sepenuhnya tinggal di Meunasah tapi sebagian besar dunia malam saya habiskan di sana.

Karena tidur di Meunasah sudah menjadi tradisi, maka tidak ada keberatan dari orang tua. Mungkin, malah bersyukur karena bisa “berhemat” tempat tidur di rumah. Maklumlah, pada saat itu, rata-rata keluarga di kampung kami hidup pas-pasan, tapi banyak anak. Bagi saya, tradisi tinggal di Meunasah, selain menjalankan ibadah tepat waktu juga mengajarkan kemandirian.

Uniknya, Meunasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga memiliki fungsi lain: sebagai tempat musyawarah, tempat pengajian, tempat berkesenian, tempat bermain (biasanya main catur tradisional), tempat buka puasa bersama, dan tempat tinggal.

Sebagai tempat tinggal, ada dua tipe penghuni di Meunasah: penghuni tetap dan penghuni tidak tetap. Penghuni tetap adalah mereka yang berperan menjaga dan merawat Meunasah - seperti kami. Sementara penghuni tidak tetap adalah orang-orang yang kemalaman di jalan, orang yang kesasar mencari alamat keluarganya, penonton sepak bola atau pengunjung acara hiburan dari luar kota.

Meunasah selalu menarik bagi pelaku ekonomi kecil. Biasanya pada hari-hari besar Islam atau pada saat ziarah kubur. Pada hari besar Islam, Meunasah selalu mengadakan acara Dakwah Islamiah dengan mengundang penceramah kondang untuk memberi siraman rohani. Sehingga pengunjung tidak hanya datang dari desa kami tapi juga dari desa-desa tetangga.

Boleh dibilang acara Dakwah selalu menjadi moment favorit bagi para pelaku ekonomi kecil. Tidak seperti investor luar negeri yang belum tentu datang meskipun diundang. Pelaku ekonomi kecil bagaikan jelangkung; datang tak diundang. Mereka adalah penjual kacang, penjual cendol, penjual sirih, penjual balon, dan penjual lainnya. Merekalah yang menggerakkan roda perekonomian di lingkungan Meunasah.

Satu lagi yang menarik dari Meunasah adalah kalau ada yang lagi tawuran atau cekcok rumah tangga. Kita tidak perlu ke TKP untuk mengetahui masalahnya. Karena pada akhirnya mereka akan didamaikan di Meunasah. Sehingga kita semua tahu masalahnya dan tidak akan berkembang menjadi gosip yang berkepanjangan - gosip berkembang karena informasi yang sepotong-sepotong. Pada saat itu, Meunasah merupakan pusat informasi yang terpercaya.

Meunasah merupakan contoh model ruang publik yang mampu mengakomodasi semua permasalahan warga. Interaksi antar warga di Meunasah berjalan secara alamiah, sehingga melahirkan sebuah budaya. Oleh karena itu budaya Meunasah akan selalu eksis karena partispasi masyarakat di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline