Les Demoiselles d’Avignon
Beberapa ahli sejarah seni berpendapat bahwa penemuan fotografi telah mengakhiri otoritas seni lukis dalam hal “meniru alam”. Konsep art imitating nature dengan sendirinya akan mejadi konsep usang. Tidak ada seniman yang mampu bersaing dengan fotografi dalam hal: kecepatan, ketepatan, keakuratan, dan kemiripan. Masa itu disebut sebagai masa krisis representasi realitas atau awal kelahiran seni lukis modern.
Sejak itu seni lukis mengambil langkah baru mencoba memapankan kembali otoritasnya, yaitu menggambar realitas dengan cara yang tidak bisa dilakukan fotografi. Paul Cezanne termasuk yang pertama menerapkan langkah itu dengan melukis efek pencerapan dari realitas. Dia menggambarkan pandangan subyektif dari realitas dengan memasuk unsur ketidakpastian di dalamnya. Artinya persepsi kita terhadap suatu objek, baik keragaman sudut pandang maupun keraguan apa yang kita lihat diakumulasikan ke dalam kanvas sebagai konsep menggambar.
Karya Claude Monet
Hal ini kemudian mempengaruhi Claude Monet untuk melukis perubahan penglihatan terhadap objek dalam lukisan impresionisnya. Bagi Monet penampakan sebuah objek akan berubah seiring berubahnya posisi matahari atau disebabkan perubahan alam lainnya seperti angin yang menggerakan daun. Oleh karena itu perlu melukis secara cepat supaya tidak ketinggalan momen. Karena tidak mau ketinggalan momen inilah sehingga yang tergambar hanya kesannya saja.
Yang benar-benar berbeda adalah gaya melukis Pablo Picasso. Salah karyanya yang dibuat tahun 1907, Les Demoiselles d’Avignon, dianggap sebagai lukisan modernis sejati pertama. Lukisan ini pula yang memicu lahirnya Kubisme sekitar tahun 1907 yang kemudian dikembangkan oleh Cezanne, Georges Braque, dan lainnya. Keunikan dari lukisan Kubis ala Piccasso adalah menyederhanakan bentuk objek menjadi bentuk geometri dan memunculkan berbagai sudut pandang secara bersamaan yang tumpah tindih dalam satu kanvas. Cara ini dianggap sebagai satu model anti-representansional dari deformasi yang mampu memapankan kembali otoritas seni dengan menggambar realitas dalam cara yang berbeda.
Karya Piet Mondrian
Abstraksionis lahir untuk memperpanjang definisi seni lukis modern. Abstraksionis menawarkan gagasan untuk menyajikankan sesuatu yang tak terlihat tetapi bisa dibayangkan kebesarannya atau biasa disebut realitas sublim. Pelukis Rusia, Kasimir Malevich pada tahun 1915 menyajikan “Keagungan yang tak tergambarkan” dengan melukis bujur sangkar putih pada latar putih. Sementara pelukis abtrak Piet Mondrian mencoba menghapus semua bentuk realitas dan menggantikannya dengan garis, warna dan dikomposisikan secara berbeda dari apa yang terlihat pada alam nyata. Lukisan Mondrian memperlihatkan secara jelas evolusi dari naturalis ke abstrak murni yang secara perlahan mencoba menghapus semua “jejak” realitas dalam karya-karyanya.
Penggunaan mesin pembunuh pada Perang Dunia Pertama telah mendorong lahirnya Dadaisme (1916-1924). Sebenarnya Dadaisme adalah sebuah gerakan seni yang melibatkan seniman-seniman sastra, seni rupa, seni pertunjukan, dan musik untuk memprotes pembunuhan manusia dengan penggunaan mesin perang secara luas dalam Perang Dunia Pertama. Namun dari kemunculan Dadaisme belakangan menginspirasi lahirnya surealisme dan pop-art.
PopArt
Hampir sama dengan Dadaisme, gerakan COBRA muncul tidak lama setelah Perang Dunia Kedua. COBRA adalah akronim dari Copenhague, Bruxelles dan Amsterdam yang merupakan nama ibu kota dari negara-negara senimannya berasal. Gerakan ini didirikan karena kecewa atas kejadian selama Perang Dunia Kedua yang merusak segala sesuatu. Perusakan-perusakan ini justru disebabkan oleh peradaban dunia Barat sendiri. Karena itu mereka ingin kembali ke peradaban yang belum tersentuh oleh aturan-aturan peradaban Barat. Maka dicarilah sumber-sumber inspirasi dari dunia primitif, naif, anak-anak, dan bahkan orang gila.
Karya Karel Appel (anggota COBRA)
Seni lukis modern mengalami krisis pada awal tahun 1970. Penyebab terjadi krisis ini antara lain adalah penciptaan karya seni lukis menjadi terlalu mudah, setiap gaya dari sebuah karya yang baru diciptakan seolah-olah telah ada sebelumnya. Karena penciptaan karya yang terlalu mudah dan jenis karya seni lukis pun tidak terbatas jumlahnya, maka timbul kekaburan batas-batas estetika. Sampai akhirnya ada seruan bahwa segala sesuatu telah sampai pada akhir. (dari berbagai sumber)
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H