Mengapa Kita Tak Bisa Bersama; Nikah Beda Agama Dalam Islam
By Hammam Muhammad Nawwaf
Pernikahan merupakan salah satu momen sakral dalam kehidupan manusia. Yang melibatkan komitmen serius di dalamnya. Dalam sebuah komitmen, keyakinan merupakan sesuatu yang berpengaruh pada kelanggengan suatu hubungan. Dalam ajaran Islam, pernikahan beda agama (dengan selain wanita ahli kitab) ialah pernikahan yang tidak sah alias haram.
Akan tetapi, ada oknum-oknum yang berusaha untuk melegalkan pernikahan beda agama. Mereka menafsirkan ayat-ayat Quran secara serampangan. Hal ini bisa dilihat dalam Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh Nurcholis Madjid dkk. Menurut mereka, kasus pernikahan beda Agama merupakan permasalahan ijtihadi bukan qoth'i alias tak ada dalil pengharaman mutlak.
Padahal islam telah menjelaskan bahwa nikah beda agama antara muslim dengan non-muslim, para ulama telah sepakat bahwa pernikahan itu haram, baik antara pria muslim dengan wanita non-muslimah, maupun antara pria non-muslim dengan wanita muslimah. Keharaman ini terdapat dalam firman Allah:
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."
Ayat tersebut dengan tegas melarang pernikahan muslim dengan non-muslim, baik antara lelaki muslim dengan wanita non-muslim, maupun sebaliknya. Sementara, mengenai pernikahan kaum muslim dengan non-muslim (Ahli kitab), terdapat dua kategori:
Pernikahan Pria Muslim dengan wanita non muslimah
Menurut syari'at Islam, pernikahan ini dibolehkan. Didasarkan kepada firman Allah pada surat Al-Maidah : 5,
...
"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu...." (al-Maidah : 5). Sementara itu, dalam fatwa MUI pada tanggal 1 Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, maka hal ini didasarkan pada kemaslahatan yang sifatnya lokal, karena dapat juga diartikan wanita Kristen dan wanita Yahudi di Indonesia menurut Imam al-Syafi'i tidak tergolong sebagai ahli kitab.