Lihat ke Halaman Asli

Hammam Zhofron Abdullah

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Bukan Sosialis dan Kapitalis. Inilah 3 Karakteristik Ekonomi dalam Islam

Diperbarui: 16 Juni 2024   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Bandung, Jawa Barat-Salah satu ciri orisinil Islam adalah pendekatannya yang holistik terhadap seluruh aspek kehidupan. Dan ketika kita membahas pembangunan ekonomi dari perspektif Islam, bukan berarti Islam hanya fokus pada aspek ini saja, namun ketika kita memilih aspek Islam sebagai objek kajian, maka menambah pembahasan bidang tersebut. Islam meyakini manusia adalah unsur utama pembangunan dan peradaban. 

Ketika kaum kapitalis menganggap bahwa penggerak utama perekonomian adalah modal/kapital, maka mereka telah mengenyampingkan peran manusia, padahal kapital itu sendiri adalah hasil kerja dari manusia. Demikian pula kaum sosialis (Marxisme) yang menganggap bahwa penggerak utama perkembangan adalah materi, mereka lupa bahwa manusia yang menjadi penggerak materi itu dan memberikan pengaruh. 

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa manusia memiliki posisi diatas modal dan materi dalam pengaruh perkembangan ekonomi didunia. Jika manusia adalah unsur utama pembangunan dan peradaban, maka yang dibutuhkan sekarang adalah manusia-manusia yang berkualitas. 

Sehingga kuantitas yang terbangun juga memiliki kapasitas terbaik untuk menunjang kehidupan masyarakat yang ada. Maka, penulis akan melansir dari sebuah buku yang berjudul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam karya KH. Muhammad Jamhuri Lc., MA., untuk memaparkan setidaknya 3 karakteristik sistem ekonomi dalam perspektif Islam yang dari karakteristik ini akan tercipta manusia-manusia berkualitas untuk menunjang proses perkembangan.

1.Mengakui adanya kepemilikan umum dan pribadi. 

Tidak seperti kaum kapitalis yang hanya mengakui kepemilikan pribadi, dan kaum sosialis yang menganggap segala sumber daya adalah kepemilikan umum. Islam mengakui kepemilikan keduanya, yang dimana keduanya saling menopang. Sumber-sumber ekonomi publik (Umum) yang memang dibutuhkan manusia menjadi milik publik, dan penggunaannya akan diserahkan pada pemerintah sesuai dengan kepentingan masyarakat. 

Disisi lain, kepemilikan pribadi yang dihasilkan pemiliknya dengan cara legal harus dilindungi sepenuhnya. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal kepemilikan publik dan pribadi secara mutlak, tetapi ada 2 wilayah. Keduanya memiliki peran yang sama dalam membangun masyarakat dan tidak saling berbenturan. 

2.Kebebasan ekonomi. 

Dalam Islam, kebebasan ekonomi bukan berarti kebebasan mutlak. Akan tetapi adalah kebebasan yang terikat pada hukum-hukum Islam. Seorang produsen muslim bebas meng-collect berbagai sumber ekonomi dan memproduksi sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi tidak boleh mengambil keuntungan diluar ketentuan syariat islam. 

Umpamanya seorang pemilik ladang, ia bebas memanfaatkan ladang tersebut, namun tetap terikat dengan hukum-hukum islam. Seperti tidak boleh menanam pohon ganja dengan alasan dapat memperoleh banyak keuntungan, tidak boleh menanam anggur untuk dijadikan minuman yang memabukan dengan alasan yang sama. 

Demikian juga halnya bagi konsumen. Dia bebas mengkonsumsi apapun sesuai keinginannya, selama apa yang dikonsumsinya adalah hal-hal yang diperbolehkan dalam Islam. Ketika Islam melarang sesuatu, maka sesuatu tersebut pasti mengandung masalah yang membahayakan. Dengan begini, maka tertutuplah jalan-jalan yang menghisap sumber ekonomi masyarakat, sehingga dapat dialihkan pada hal lain yang jauh lebih bermanfaat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline