[caption caption="Buku pribadi"][/caption]Masih ada sikap di masyarakat bahkan yang sudah mencicipi pendidikan tinggi sekalipun, yang keberatan kalau Ahmadiyah dimasukkan sebagai bagian dari agama Islam. Bagi masyarakat yang bersikap seperti ini lebih suka memasukkan Ahmadiyah sebagai "agama baru" di luar Islam, yang punya konsep ketuhanan, nabi dan kitab suci tersendiri. Dengan kata lain, Ahmadiyah bukan Islam, dan Islam bukan Ahmadiyah, begitu kata mereka.
Sikap seperti ini muncul, selain minimnya pengetahuan masyarakat tentang Ahmadiyah, juga disebabkan informasi, buku, dan pengetahuan yang didapat, dibaca dan dikonsumsi masyarakat selama ini kebanyakan berasal dari luar Ahmadiyah yang dalam banyak hal, tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Buku-buku mengenai Ahmadiyah umpamanya, yang beredar luas di toko-toko buku justru buku-buku yang ditulis oleh non-Ahmadiyah. Yang isinya bukan hanya fitnah, provokasi, hujatan, stigma sesat, melainkan juga jauh dari kata objektif dan ilmiah.
Berangkat dari sini kemudian saya berpikir, benarkah Ahmadiyah agama baru di luar Islam seperti dipersepsikan kebanyakan masyarakat selama ini? Benarkah Ahmadiyah punya konsep ketuhanan, nabi dan kitab suci tersendiri?
Dalam tulisan ini, tentunya saya tidak mendefinisikan agama secara kaku. Seperti ungkapan Mukti Ali, seorang tokoh Perbandingan Agama di Indonesia. Agama adalah salah satu kata yang paling sulit untuk didefinisikan. Sebagian pakar berkata: Agama hanya bisa dipraktikkan, tapi tidak bisa didefinisikan. Bahkan Jonanthan Z. Smith, dari Universitas Chicago, menemukan lebih dari 50 definisi yang bebeda mengenai agama. Dan dari sini, bisa dikatakan bahwa sampai sekarang tidak ada definisi "agama" yang disepakati di kalangan ahli.
Secara historis, Ahmadiyah adalah sebuah pemikiran sekaligus gerakan yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir pada akhir abad ke-19 di Qadian, Punjab, India.
Sepanjang penelitian saya, ada tiga kategori yang diberikan oleh para ahli terhadap Ahmadiyah. Pertama, Ahmadiyah sebagai gerakan keagamaan, kategori ini diberikan oleh Muhammad Iqbal. Kalau kategori Iqbal ini diikuti, maka Ahmadiyah sama dengan gerakan keagamaan lainnya di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Nahdlatul Watan, dan lain sebagainya.
Kedua, Ahmadiyah sebagai gerakan teologi. Kategori ini diberikan oleh Wilferd C. Smith, yang sama dengan Syi’ah, Muktajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah, Jabariyah, dan sederet gerakan teologi lainnya.
Ketiga, Ahmadiyah sebagai geraka intelektual. Kategori ini diberikan oleh H.A.R Gibb. Ahmadiyah lahir menurut Gibb sebagai respons terhadap pemikiran Akhmad Khan dan pemikir-pemikir sebelum dan sesudah Khan, yang sangat rasional, elitis, dan kurang dipahami oleh kalangan awam.
Pemikiran-pemikiran Mirza Ghulam Ahmad, menurut B.J. Esser –sebagaimana dikutip Azyumardi Azra– dapat memuaskan emosi keagamaan sebagian umat Islam India ketika itu.
Dari ketiga kategori di atas, tidak ada satu ahli pun, yang memasukkan Ahmadiyah sebagai "agama baru" seperti yang dipahami sebagian orang.