Saat itu, di tahun 1990 bisa kuliah merupakan hal yang luar biasa bagi orang-orang tertentu. Di samping karena masalah pendanaan, juga belum menjadi kebutuhan. "Kuliah hanya menunggu masa nikah atau mengisi waktu luang", kata sebagian dari mereka.
Berpendidikan tinggi belum begitu memiliki arti walau bisa menambah "gengsi", masa anak-anak lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) langsung memasuki dunia kerja, kecuali bagi mereka yang mempunyai tujuan khusus dan diwajibkan.
MAHASISWA ABADI
Sebelum adanya Permenristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi di antaranya adalah batasan waktu kuliah selama tujuh tahun, tidak ada aturan khusus mengatur masa kadaluwarsa menjadi mahasiswa.
Karenanya setelah mereka menyelesaikan mata kuliahnya ada yang langsung mengerjakan skripsi atau menunggu sampai sempat dan bisa mengerjakannya.
Mereka yang sudah menyelesaikan perkuliahan dan tidak segera menyelesaikan skripsi mendapat julukan mahasiswa abadi, setia secara terus menerus menjadi mahasiswa entah sampai kapan hingga bisa diwisuda.
Julukan mahasiswa abadi, bukanlah beban yang ringan, ada aroma yang tidak sedap. Bagi mereka yang berasal dari luar kota atau bahkan luar propinsi ada beban moral, mau pulang kampung belum rampung studinya dan hal-hal lain yang menjadikan ketidak jelasan menyandang gelar Mahasiswa Abadi.
MEMBUAT SKRIPSI ITU SULIT
Para mahasiswa abadi, memiliki masalah yang akut yaitu belum menyelesaikan tugas akhir yaitu melakukan penelitian kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi.
Hambatan yang dialami oleh mereka sebagian besar adalah keterampilan menulis dan rumitnya nalar untuk mengurai masalah, ini berarti adanya kegagalan proses dalam melaksanakan perkuliahan.