Teringat peristiwa tahun 2000, sedang gencar penyelenggaraan sekolah satu hari penuh (full days school) dengan konsep 3 in 1, belajar, bermain dan les). Siswa menuntaskan seluruh aktivitas belajarnya di sekolah.
Full days school lama siswa di sekolah 8 jam, sepertiga waktu anak dihabiskan bersama guru dan teman-teman, berangkat pagi pulang petang, membuat anak memiliki kesempatan terbatas berinteraksi dengan orang tua dan saudara di rumah.
Pola layanan 3 in 1 tidak saja membuat nyaman siswa ketika pulang sekolah. Juga tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Sehingga benar-benar beda suasana di sekolah dan di rumah. Siswa dan guru tidak membawa pekerjaan rumah, waktu dipergunakan sepenuhnya untuk keluarga.
TANPA PR BUKAN BERARTI TANPA MASALAH
Tanpa PR membuat anak bebas berpacu dengan waktu di berbagai tempat, bisa bersantai ria dan terlihat bermalas-malasan.
Bagi beberapa wali murid (orang tua) tidak sepenuhnya mau menerima konsep siswa tanpa PR, dalam persepsi orang tua yaang disebut dengan anak brlajar adalah memegang dan memandangi buku, sehingga bisa diambil kesimpulan yang dangkal yaitu belajar sama dengan membaca, orang tua bila melihat anak-anak tidak memegang buku dianggapnya tidak belajar.
Dalam pertemuan wali murid pada acara penyerahan hasil belajar tengah semester seorang bapak menyampaikan saran kepada ibu wali kelas "bu guru, tolong anak saya diberi PR, di rumah suka nonton tv, malas-malasan, mengganggu adik-adiknya"
Pernyataan bapak tersebut diiyakan oleh sebagian besar wali murid, meledak memecahkan kesunyian, seakan para wali murid menemukan waktu tepat menumpahkan uneg-uneg perihal anak mereka yang bebas berekspresi lepas sekolah, orang tua merasa terganggu, akhirnya harus turun tangan mengurus dan menenangkan anak-anak.
Hal di atasa adalah salah satu gambaran betapa masih ada orang tua yang belum siap anaknya pulang tanpa ada PR.
SUDAH SIAPKAH GURU TANPA PR