Lihat ke Halaman Asli

Pekerjaan Rumah Presiden Terpilih untuk Anak Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14060727932079805847

[caption id="attachment_349254" align="alignleft" width="300" caption="Presiden Terpilih (doc.hamidpatilima)"][/caption]

Peringatan Hari Anak Indonesia 23 Juli 2014

Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komite) menyambut baik penyerahan Laporan Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Periode Ketiga dan Keempat pada tanggal 5 Juni 2014. Komite juga menerima laporan tandingan dari Amnesty International, Global Initiative, National NGO Coalition, Aliansi Nasional Timor Leste, Terre Des Femmes, Good Neighbors Indonesia, dan Klayanamitra. Atas pertimbangan laporan tersebut, Komite mengeluarkan “Concluding Observation” yang berisikan dua hal utama yaitu keprihatinan dan rekomendasi yang diterbitkan pada tanggal 13 Juni 2014.

Komite menyambut baik laporan Indonesia, meskipun demikian, Komite menggarisbawahi beberapa hal yang masih bertentangan dengan ketentuan dan prinsip dalam Konvensi Hak Anak. Proses desentralisasi yang mengarah ke pembentukan provinsi dan kabupaten baru menghasilkan beberapa peraturan daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau kabupaten, tidak konsisten dengan ketentuan dan prinsip Konvensi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang seharusnya bertanggung jawab atas koordinasi dan pelaksanaan Konvensi dan Rencana Aksi Nasional untuk Anak, tidak memiliki otoritas yang diperlukan atas struktur pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota agar secara benar mengoordinasikan kegiatan di bawah Konvensi di semua tingkatan. Begitu juga dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki mandat yang terbatas dan otoritas kurang eksplisit untuk menyelidiki kasus terkait perlindungan anak.

Komite sangat prihatin dengan masih adanya diskriminasi dalam ketentuan legislasi nasional, termasuk diskriminasi antara anak perempuan dan anak laki-laki mengenai hak waris, anak penyandang disabilitas mengalami diskriminasi terkait akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan, anak dari kelompok minoritas agama tertentu dihadapkan dengan diskriminasi dan kegagalan untuk mencegah serangan terhadap mereka, dan anak dari masyarakat adat menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, seperti akses ke pendidikan dan perawatan kesehatan.

Kepentingan terbaik anak tidak terintegrasi dalam sebagian besar undang-undang yang terkait anak. Selain itu, insiden penggusuran paksa pada keluarga, termasuk anak, tanpa menawarkan ganti rugi yang memadai atau perumahan alternatif.

Komite menyambut pembentukan Forum Anak, namun prihatin Forum tersebut tidak sepenuhnya inklusif. Pandangan anak yang disuarakan dalam forum anak tidak cukup dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Hal lain, adalah tidak adanya mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 di semua tingkatan.

Tindakan pemerintah yang menindas terhadap kebebasan beragama anak-anak dari kelompok minoritas agama yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965, khususnya kewajiban untuk menghadiri pelajaran agama di sekolah-sekolah di salah satu dari enam agama yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965. Non-Muslim yang secara eksplisit diwajibkan mengikuti hukum Syariah di Aceh atau, seperti yang ditunjukkan, siswa non-Muslim mengalami tekanan sosial untuk mengenakan busana Muslim di sekolah.

Komite menyesalkan pencegahan, pemulihan, dan reintegrasi bagi anak korban tidak cukup efektif dan mereka dihadapkan pada beberapa hambatan dalam mengakses keadilan. Keprihatinan lain adalah female genital mutilation tidak secara eksplisit dilarang, termasuk praktik sunat perempuan. Selain itu, Komite sangat menyesalkan tingginya jumlah pernikahan usia anak dan adanya pemaksaan.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh anak adalah kurang cakupan jaringan helplines di semua provinsi, kurang kesadaran masyarakat tentang adanya layanan helplines, dan konselor yang memadai. Hal lain, Komite sangat memprihatinkan tetap diperbolehkannya poligami yang berpengaruh pada anak-anak mereka.

Komite menemukan orang tua menyerahkan anak-anak mereka kepada panti asuhan. Panti tersebut tidak dipantau secara teratur, sehingga insiden kekerasan sering terjadi dalam lembaga, dan anak-anak ada kemungkinan kurang kesempatan untuk bertemu keluarga mereka.

Komite secara serius prihatin tentang situasi anak penyandang disabilitas, terutama anak perempuan, menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan. Banyak anak disabilitas yang tersembunyi atau ditempatkan di lembaga karena stigma sosial atau biaya ekonomi untuk membesarkan mereka. Hanya sejumlah kecil anak penyandang disabilitas bersekolah serta memiliki akses ke perawatan kesehatan, layanan khusus, dan pusat rehabilitasi.

Komite menyesalkan anak-anak dihadapkan pada kesulitan mendapatkan akses mengenai kesehatan dan pendidikan reproduksi. Layanan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi membutuhkan informed consent dari orang tua atau suami, khususnya remaja perempuan yang sudah menikah, harus meminta izin suami mereka terlebih dulu, untuk mendapatkan beberapa jenis layanan kontrasepsi dari fasilitas kesehatan yang dikelola pemerintah. Remaja perempuan yang belum menikah, termasuk korban perkosaan, mungkin tidak dapat mengakses layanan ini, mereka tidak menyadari haknya untuk mengetahui, antara lain sebab-sebab penyakit menular seksual dan tingginya jumlah kehamilan remaja, serta bahaya aborsi yang tidak aman atau mungkin karena mereka takut stigmatisasi, maka dipaksa untuk menikah muda sehingga putus sekolah.

Diperkirakan 13,8 juta anak yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, dan 8,4 juta anak yang hidup dalam kemiskinan yang ekstrim. Proses desentralisasi, yang mengarah pada pembentukan banyak provinsi dan kabupaten baru, dapat menimbulkan kesenjangan akses terhadap pelayanan publik seperti pencatatan kelahiran, pendidikan dasar atau air minum yang bersih. Kesenjangan perkotaan-pedesaan, etnis, dan jenis kelamin tentang kemiskinan, menjadikan anak-anak menjadi sangat dirugikan. Program bantuan sosial untuk pendidikan tidak mencapai anak-anak miskin yang putus sekolah dan karena itu tidak dapat mengakses skema perlindungan sosial. Selain itu, perempuan pedesaan dan masyarakat adat yang berhadapan dengan kemiskinan tertentu, yang mengarah ke hasil yang lebih buruk bagi anak-anak mereka.

Sejumlah besar anak, khususnya mereka yang berasal dari keluarga miskin, menghentikan pendidikan mereka, dengan alasan biaya pendidikan. Tidak adanya tindakan untuk mencegah remaja dari putus sekolah dalam kasus kehamilan, kasus anak perempuan yang hamil dan diusir, akan putus asa untuk melanjutkan pendidikan mereka selama kehamilan, dan anak-anak yang sudah menikah sering menghentikan pendidikannya. Terjadinya kekerasan yang tinggi di sekolah termasuk oleh tenaga pengajar, dan tingginya jumlah guru sekolah yang tidak memegang kualifikasi minimum yang diperlukan oleh pemerintah, serta kejadian guru tidak hadir kerja.

Komite juga memprihatinkan alokasi anggaran yang tidak mencukupi untuk perawatan dan pendidikan anak usia dini, infrastruktur yang tidak memadai dan kurangnya personil yang dalam perawatan dan pendidikan anak usia dini di daerah terpencil. Komite prihatin juga pada perhatian yang diberikan terhadap hak istirahat, waktu luang, rekreasi, dan kegiatan seni dan budaya dan upaya dilakukan terhadap pelaksanaannya.

Perlindungan pada para pencari suaka dan pengungsi anak. Kebrutalan oleh petugas imigrasi kepada para pencari suaka sehingga menderita dan disaksikan oleh anak. Fasilitas penahanan berada dalam kondisi yang buruk, termasuk kepadatan penghuni, fasilitas sanitasi yang tidak layak dan tidak memadai, dan buruknya kualitas makanan.

Kesulitan yang dihadapi oleh kelompok agama minoritas, khususnya perlindungan yang tidak memadai dari penyelidikan dan serangan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, termasuk anak. Banyak dari mereka yang kehilangan rumah setelah penyerangan dan harus tinggal di tempat penampungan sementara selama beberapa tahun, kurang akses yang memadai terhadap air bersih dan sanitasi, makanan atau perawatan kesehatan. Anak dari agama minoritas tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965, dokumen hukum sering ditolak seperti identifikasi, perkawinan atau akta kelahiran, serta akses ke layanan publik yang berbeda. Komite juga prihatin tentang situasi anak dari masyarakat adat, khususnya mengenai Papua, yang berhadapan dengan kemiskinan, militerisasi, ekstraksi sumber daya alam serta akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan.

Komite sangat menyayangkan masih tingginya prevalensi pekerja anak, yang secara signifikan lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan, khususnya: tingginya jumlah anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, karena seperti bekerja di pertambangan, sektor perikanan lepas pantai, lokasi konstruksi, pertambangan, sebagai pekerja rumah tangga anak atau sebagai pekerja seks. Tidak ada ketentuan hukum mengenai kerja paksa dan hukum yang mengatur tenaga kerja anak usia 16 - 18 tahun. Tingginya jumlah pekerja rumah tangga anak, beberapa di antaranya berusia 11 tahun, angka putus sekolah, dan kerentanan mereka terhadap kekerasan dan eksploitasi, termasuk fisik, psikologis, dan seksual, serta perdagangan anak dan kerja paksa. Selain itu, pelaksanaan RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak terhambat oleh persepsi umum bahwa pekerjaan adalah bagian dari proses pendidikan, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, layanan kepada orang tua, dan anak menjadi "aset keluarga", serta koordinasinya menjadi sulit setelah adanya Otonomi Daerah.

Komite masih menggarisbawahi sejumlah besar anak yang bekerja dan tinggal di jalanan, yang rentan terhadap berbagai risiko, termasuk penggunaan narkoba, pelecehan seksual, dan eksploitasi ekonomi. Komite juga sangat menyesalkan pendekatan hukum yang berlaku yang terkandung dalam peraturan daerah, menangani anak jalanan diperlakukan sebagai penjahat bukan sebagai korban, serta kekerasan penegakan hukum yang mereka hadapi, terutama selama operasi.

Tingginya prevalensi perdagangan orang di Indonesia, termasuk sejumlah besar anak di bawah umur yang terlibat sebagai pekerja seks. Selain itu, saat mengeluarkan undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Komite menyesalkan bahwa undang-undang gagal untuk mendefinisikan perdagangan anak secara komprehensif, bahwa banyak kasus perdagangan anak berbahaya, tidak dianggap seperti itu oleh undang-undang. Komite menggarisbawahi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dibentuk oleh pemerintah tidak cukup efektif, dan masih banyak daerah yang belum memiliki gugus tugas.

Komite menyambut penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menaikkan usia minimum pertanggungjawaban pidana dan memprioritaskan penggunaan keadilan restoratif. Namun, Komite kurang puas atas penetapan usia minimum pertanggungjawaban pidana yang masih rendah yaitu usia 12 tahun. Selain itu, Komite juga memprihatinkan tingginya jumlah anak yang dihukum dan dipenjara bahkan untuk kejahatan kecil sekalipun, ditempatkan bersama orang dewasa dan dalam kondisi yang buruk. Kurangnya tindakan reintegrasi sosial bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Tugas Berat Presiden Terpilih

Presiden terpilih selain harus menjawab berbagai tantangan yang diperdebatkan pada Debat Presiden 2014, juga menjawab tantangan yang direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB untuk melaksanakan prinsip dan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan didasarkan pada tujuh belas dokumen Gerenal Comment yang diterbitkan oleh Komite Hak Anak – PBB yang melaporkannya kembali pada 7 Oktober 2019. Apa saja yang menjadi rekomendasi Komite?

Pertama, Indonesia perlu menindaklanjuti rekomendasi tahun 2004 yang belum tuntas, yaitu meng-upgrade sistem pengumpulan data yang mencakup semua bidang Konvensi, memperkuat langkah-langkah yang berkaitan dengan penyebaran dan pelatihan tentang Konvensi kepada semua profesional yang relevan dan menerapkannya secara berkelanjutan dan sistematis. Mengamandemen undang-undang yang melarang hukuman fisik di dalam keluarga, sekolah, dan penitipan anak. Melaksanakan kampanye pendidikan publik tentang konsekuensi negatif dari perlakuan buruk terhadap anak dan mempromosikan disiplin positif sebagai bentuk alternatif hukuman fisik non-kekerasan.

Kedua, Komite mendesak untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi sepenuhnya dimasukkan ke dalam undang-undang dan semua peraturan daerah konsisten dengan ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk dengan pembentukan lembaga pemerintah yang khusus memantau proses penyusunan dan penerapan peraturan daerah kabupaten/kota dan provinsi dan peraturan yang menyangkut anak.

Pemerintah memberikan kewenangan yang cukup kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengoordinasikan dan mengevaluasi semua kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi di semua tingkatan. Selain, memperkuat mandat KPAI, dengan menyediakan kapasitas untuk menyelidiki dan menangani keluhan anak-anak dengan cara yang sensitif anak, menjamin privasi, dan perlindungan korban, dan melakukan monitoring dan tindak lanjut.

Ketiga, Komite merekomendasikan Indonesia perlu memperhatikan prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup kelangusngan hidup dan tumbuh kembang, serta menghargai pandangan anak. Untuk mengatasi segala bentuk de jure dan de facto diskriminasi, dengan mencabut semua perundang-undangan yang mendiskriminasikan perempuan, khususnya berkaitan dengan warisan, dan menghilangkan sikap negatif dan praktik serta stereotip yang mengakar terhadap perempuan dengan merumuskan strategi yang komprehensif, termasuk definisi yang jelas tentang target dan membangun mekanisme monitoring. Koordinasi dalam hal ini harus dipastikan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk anak perempuan, dan melibatkan semua sektor masyarakat sehingga memudahkan perubahan sosial dan budaya dan penciptaan lingkungan yang kondusif yang mempromosikan kesetaraan. Pemerintah menjamin akses yang sama anak-anak penyandang disabilitas untuk semua layanan publik (perawatan kesehatan dan pendidikan). Menghapus diskriminasi terhadap anak berdasarkan agama dan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas agama tertentu dan mengambil semua langkah yang diperlukan, khususnya memperbaiki infrastruktur yang relevan, untuk menyediakan akses yang sama ke pelayanan publik oleh anak dari masyarakat adat.

Kepentingan terbaik dipertimbangkan secara eksplisit, disebutkan dalam undang-undang dan diterapkan secara konsisten dalam semua proses legislatif, administratif, dan hukum, serta dalam semua kebijakan, program, dan proyek-proyek yang relevan dengan dan berdampak pada anak. Keberlangsungan hidup anak dengan memastikan penggusuran paksa hanya digunakan sebagai upaya terakhir, selalu tunduk pada alternatif yang memadai, dan sedikit kemungkinannya menyebabkan tunawisma. Sedangkan terkait dengan partisipasi anak dalam situasi rentan, khususnya anak-anak penyandang disabilitas maupun anak-anak dari agama atau etnis minoritas di berbagai forum untuk partisipasi anak. Komite juga merekomedasikan untuk mempertimbangkan pendapat disuarakan dalam forum dalam semua proses pengambilan keputusan yang menyangkut anak dan memastikan bahwa forum yang berbeda di mana anak dapat menyuarakan pendapat selalu disediakan dengan semua sumber daya yang diperlukan, serta dengan melakukan program dan kegiatan peningkatan kesadaran untuk mempromosikan partisipasi bermakna dan memberdayakan semua anak di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Keempat, hak sipil dan kebebasan. Komite merekomendasikan agar Indonesia memastikan semua anak yang lahir di Indonesia telah terdaftar dan diterbitkan akta kelahiran, terlepas dari kebangsaan, agama, dan status saat lahir, dan pencatatan kelahiran difasilitasi dan gratis dalam semua keadaan. Komite mendesak Indonesia untuk mengamandemen undang-undang dalam rangka secara efektif untuk menjamin hak anak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama dari semua keyakinan. Indonesia harus mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk peningkatan kesadaran dan kampanye pendidikan publik untuk memerangi intoleransi atas dasar agama atau kepercayaan lain, untuk mempromosikan dialog agama dalam masyarakat, untuk memastikan ajaran agama mempromosikan toleransi dan pemahaman antara anak dari semua komunitas dan latar belakang agama atau non-agama dan untuk memerangi setiap Jenis tekanan sosial terhadap anak untuk mematuhi aturan agama yang bukan ia anut.

Indonesia juga perlu memperkuat upaya untuk melindungi dan mencegah anak dari pelecehan seksual dan eksploitasi melalui pengembangan strategi untuk menanggapi kebutuhan khusus anak korban eksploitasi seksual dan penganiayaan, dan menyediakan akses ke tempat penampungan, kesehatan, jasa hukum, dan psikologis, pelatihan yang memadai untuk profesional yang bekerja di layanan serta memastikan saluran pelaporan ramah anak diakses, dan rahasia, serta akses anak korban difasilitasi untuk mendapatkan keadilan.

Komite mendesak Indonesia untuk mencari langkah-langkah yang efektif untuk mencegah dan memberantas praktik pernikahan usia anak atau kawin paksa, termasuk semua tindakan legislatif yang diperlukan serta pembentukan kesadaran dan kampanye tentang kerugian dan bahaya yang dihasilkan dari pernikahan usia anak. Indonesia juga untuk meningkatkan sumber daya manusia, keuangan, dan teknis untuk memastikan anak-anak di setiap provinsi sadar dan memiliki akses 24-jam ke helpline, dan adanya pelatihan yang memadai untuk konselor.

Kelima, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Komite memastikan anak yang berada di luar asuhan keluarga mendapatkan dukungan yang diberikan kepada keluarga biologis dan memberikan bantuan berbasis masyarakat untuk keluarga dalam membesarkan anak, oleh pekerja sosial yang terlatih. Sedapat mungkin memberikan perawatan tipe keluarga kepada anak-anak yang tidak bisa tinggal dengan keluarga mereka, dengan maksud untuk mengurangi pelembagaan anak dan memperkuat persyaratan untuk mendapatkan izin untuk menjalankan sebuah lembaga pengasuhan alternatif. Pemantauan terhadap kualitas pelayanan di dalamnya, termasuk dengan menyediakan akses untuk memantau dan menanggulangi penganiayaan anak-anak, serta kepastian pemberian kesempatan untuk bertemu dengan keluarga mereka.

Keenam, disabilitas, kesehatan dasar, dan kesejahteraan. Komite mendesak Indonesia untuk memastikan bahwa diskriminasi atas dasar disabilitas secara tegas dilarang, serta memastikan bahwa semua ketentuan yang mengakibatkan diskriminasi para penyandang disabilitas dicabut, melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye pendidikan untuk menghilangkan semua jenis diskriminasi, khususnya hambatan sikap dan lingkungan terhadap anak-anak penyandang disabilitas, dan menginformasikan serta peka akan hak-hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas serta memastikan anak-anak disabilitas disediakan dukungan keuangan yang memadai dan memiliki akses penuh ke layanan sosial dan kesehatan. Menjamin bahwa anak-anak penyandang disabilitas dapat sepenuhnya menggunakan hak mereka untuk pendidikan, dan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memasukkan mereka ke dalam sistem sekolah umum.

Komite mendesak Indonesia untuk meningkatkan anggaran kesehatan dan memperluas akses pelayanan perawatan kesehatan primer di seluruh provinsi, dan memberikan layanan dengan kemudahan akses dan dapat dijangkau oleh masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka, dan khususnya dalammenjamin penyediaan layanan-layanan kesehatan dasar bagi semua wanita hamil, termasuk akses ke perawatan antenatal, perawatan persalinan yang aman, perawatan obstetrik darurat serta perawatan pasca melahirkan, dan untuk anak-anak, difokuskan pada intervensi untuk mengurangi penyakit yang dapat dicegah, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan gizi dan lain-lain, serta mempromosikan praktik pemberian makan bayi dan balita yang baik. Indonesia memperkuat dan memperluas akses ke perawatan kesehatan preventif dan layanan terapi untuk semua wanita hamil dan anak-anak, terutama bayi dan balita. Memberikan bantuan profesional gratis yang cukup sebelum dan selama persalinan, termasuk di daerah terpencil dan pedesaan, dan mengambil alih semua upaya yang diperlukan, termasuk perawatan kebidanan darurat, untuk mengurangi angka kematian ibu. Selain itu, merekrut, melatih, dan memonitor penyedia layanan kesehatan serta memperbaiki infrastruktur kesehatan dan memastikan bahwa pelayanan kesehatan termasuk akses ke sanitasi dan air minum yang bersih.

Komite merekomendasikan kepada Indonesia untuk mengamandemen undang-undang yang diperlukan untuk menjamin secara penuh dan tanpa syarat apapun bagi remaja untuk mendapatkan informasi dan layanan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dan kontrasepsi, tanpa perlu persetujuan dari orang tua atau suami, serta memastikan bahwa permintaan mereka diperlakukan secara rahasia, dan mengembangkan serta menerapkan kebijakan untuk melindungi hak-hak remaja hamil, ibu remaja, dan anak-anak mereka dan menghapus diskriminasi terhadap mereka.

Indonesia perlu mengembangkan strategi anti-kemiskinan holistik dan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memahami dan mengatasi akar penyebab, dan menghilangkan kemiskinan anak melalui: (i) menetapkan strategi dan program penanggulangan kemiskinan di semua tingkat, (ii) memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah pedesaan dan terpencil, dan memastikan akses yang sama terhadap pelayanan dasar, khususnya gizi yang cukup, perumahan, air dan sanitasi, pendidikan, pelayanan sosial dan kesehatan, serta memberikan bantuan material kepada keluarga tidak mampu secara ekonomi, (iii) adaptasi program bantuan sosial untuk pendidikan guna memastikan akses oleh anak-anak yang berada di luar sekolah; menetapkan program dukungan yang memadai untuk memperbaiki situasi perempuan pedesaan dan masyarakat adat, dalam rangka menjaga mereka dan anak-anak mereka keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan, dan (iv) menyediakan pekerja sosial terlatih, memadai, mampu mengidentifikasi keluarga dan anak-anak berisiko, mengelola skema sosial secara efektif dan menindaklanjuti pelaksanaannya.

Ketujuh, pendidikan, pemanfaat waktu luang, rekreasi, dan kegiatan budaya. Komite mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan segera untuk menjamin aksesibilitas pendidikan berkualitas untuk semua anak dalam wilayah Indonesia. Indonesia menjamin pendidikan tersedia untuk semua pencari suaka dan pengungsi anak, anak-anak pekerja migran, dan untuk anak-anak yang tidak mempunyai akta kelahiran. Menfokuskan pendidikan pada keluarga yang tinggal di kabupaten paling miskin dan terpencil, serta mengambil tindakan efektif untuk mengatasi alasan di balik kegagalan untuk menyelesaikan sekolah. Memastikan remaja yang sudah menikah, remaja hamil, dan ibu remaja yang didukung dan dibantu dalam melanjutkan pendidikan mereka di sekolah umum dan dapat bergabung membesarkan anak dan menyelesaikan pendidikan. Melatih guru dan memastikan kehadiran mereka di tempat kerja, serta melakukan inspeksi sekolah secara reguler, untuk mengakhiri hukuman fisik dan bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, termasuk intimidasi.

Memastikan perawatan dan pendidikan anak usia dini gratis dan lembaga-lembaga dapat diakses, termasuk untuk anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, memiliki staf yang cukup. dan lengkap, serta mampu memberikan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara holistik, termasuk perkembangan anak secara keseluruhan dan memperkuat kapasitas orang tua. Sedangkan perencanaan kegiatan budaya dan rekreasi untuk anak-anak perlu mempertimbangkan perkembangan fisik dan psikologis anak, serta mempromosikan hak-hak ini di antara orang tua, guru, dan tokoh masyarakat.

Kedelapan, perlindungan khusus. Komite mendesak Indonesia untuk menjamin kepentingan terbaik anak selalu dianggap sebagai pertimbangan utama dalam semua proses imigrasi dan pencari suaka, dan anak-anak pencari suaka dengan menghentikan praktik administrasi penahanan. Yang terpenting, Indonesia mengaksesi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Komite mendesak Indonesia untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk memerangi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, memberikan perlindungan dan pemulihan dan membawa pelaku ke pengadilan. Komite juga mendesak Indonesia untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghilangkan kemiskinan di antara masyarakat adat dan memonitor kemajuan, memberikan akses yang sama untuk semua layanan publik, mengupayakan demiliterisasi dan memastikan informed consent terlebih dahulu dari masyarakat adat mengenai eksploitasi sumber daya alam di wilayah tradisional mereka.

Indonesia segera untuk melakukan segala upaya untuk memastikan anak-anak yang bekerja sesuai dengan standar internasional, dan mendesak Indonesia untuk: menjamin tidak ada anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak; mengubah undang-undang untuk memastikan kriminalisasi kerja paksa serta peraturan tenaga kerja anak antara 16 dan 18 tahun; mengubah undang-undang untuk memastikan pekerja rumah tangga dapat memperoleh manfaat dari semua hak-hak pekerja yang ada, dan mendapat perlindungan khusus dari kondisi dan bahaya, seperti perlindungan dari pelecehan seksual; memastikan ada penyelidikan dan penuntutan yang menyeluruh dari orang-orang yang melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan, dan memberikan sanksi yang cukup efektif dan beralasan; dan meratifikasi dan menerapkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai pekerjaan yang layak untuk Pekerja Rumah Tangga.

Komite merekomendasikan kepada Indonesia untuk mengalokasikan setiap sumber daya manusia, teknis, dan keuangan yang diperlukan secara komprehensif diterapkan secara komprehensif pada pendekatan yang berbasis perlindungan anak dan: melakukan penilaian yang sistematis dari kondisi anak-anak dalam situasi jalanan untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang akar penyebab dan besarannya; mengubah semua undang-undang tentang penanganan anak-anak dalam situasi jalanan sebagai penjahat dan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi mereka dari kekerasan, khususnya kekerasan penegakan hukum; mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang komprehensif yang mengatasi akar penyebab, dengan melibatkan anak-anak secara aktif untuk mencegah dan mengurangi fenomena ini; berkoordinasi dengan LSM, memberikan perlindungan yang diperlukan anak-anak dalam situasi jalanan, termasuk akses ke nutrisi dan tempat tinggal, lingkungan keluarga, pelayanan kesehatan yang memadai, dan kemungkinan untuk menghadiri sekolah dan layanan sosial lainnya; dan mendukung program reunifikasi keluarga, dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak.

Indonesia juga perlu untuk meningkatkan dan memperpanjang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk melengkapi setiap bagian dari Negara, dan untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah secara efektif menghapus perdagangan anak, khususnya untuk: melaksanakan semua perubahan undang-undang yang diperlukan untuk memastikan perdagangan anak dalam segala bentuknya didefinisikan secara komprehensif dan dikriminalisasi, serta perlu dikembangkan kebijakan dan program yang ditargetkan untuk mencegah perdagangan orang, dan memastikan langkah-langkah penegakan hukum yang memadai untuk membawa pelaku penjualan, perdagangan, dan penculikan anak ke pengadilan; dan melakukan penelitian dan menghilangkan akar penyebab perdagangan anak, serta mengidentifikasi anak-anak beresiko diperdagangkan dan/atau menjadi korban kejahatan di bawah Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak, dan menyediakan layanan rehabilitasi yang memadai dan terintegrasi bagi anak korban perdagangan orang.

Sedangkan anak yang berhadapan dengan hukum, Komite merekomendasikan Indonesia untuk menaikkan usia minimum pertanggungjawaban pidana minimal 14 tahun dan mempromosikan langkah-langkah alternatif untuk penahanan, seperti layanan pengalihan, masa percobaan, mediasi, konseling, atau masyarakat, dan memberikan akses ke program rehabilitasi dan reintegrasi.

Kesembilan, Komite merekomendasikan kepada Indonesia untuk lebih memperkuat pemenuhan hak-hak anak dengan meratifikasi instrumen hak asasi manusia inti, yaitu Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Prosedur Komunikasi, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk penghapusan hukuman mati, Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman lain dan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas.

Terakhir, Komite mendorong Indonesia bekerja sama, antara lain, dengan Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak.

..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline