Masyarakat Betawi mengklasifikasikan para ulama dan pengajar agama ke dalam tiga kriteria.
Pertama, adalah 'Guru' yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang guru biasanya menghabiskan seluruh waktunya di masjidnya saja, dan biasanya tidak jauh dari masjidnya berdiri komplek madrasah.
Guru tidak keluar dari lingkungannya karena masyarakatlah yang mendatanginya. Contoh guru kharismatik seperti Guru Mughni (1860) Kampung Kuningan, Jakarta selatan, Guru Marzuki (1876) di Jatinegara, Jakarta Timur, Guru Mansur (1878)Kampung Sawah Jembatan Lima, Jakarta Barat, dsb.
Kedua, 'Muallim' adalah seorang yang memiliki otoritas untuk mengajar kitab akan tetapi belum memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Seorang Mu'allim masih aktif mendatangi kelompok-kelompok pengajian yang mengajarkan kitab. contoh seperti Muallim Syafii Hadzami (1931), dsb.
Ketiga, 'Ustadz' adalah orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Qur'an, tajwid, dsb.
Jadi dari tiga klasifikasi ini jelas kedudukan seorang guru di atas muallim dan ustad. Keilmuan seorang guru ibarat sumur yang memiliki kedalaman dan ilmunya baik air sumur tidak pernah habis. wallahu 'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H