Lihat ke Halaman Asli

Hamid Anwar

PNS Kelurahan

Nostalgia Tiang Listrik

Diperbarui: 22 November 2017   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sehabis mengaji di tempat Pak Zabidi, seorang ustadz guru ngaji yang disegani anak-anak sekampung - tapi sering kami plesetkan namanya menjadi 'penyihir jahat babidy' --, kami biasa mampir ke tiang listrik. Tiang listrik yang berada persis di tengah perjalanan antara mushala dan tempat ngaji.

"Hom pipmah seje dewe me-gasang!"

Kami kompak menumpuk dan menggoyangkan tangan untuk menentukan siapa yang akan berjaga dalam petak umpet malam itu.

Menjadi si gasang adalah mimpi buruk. Seolah mereka yang bisa bersembunyi adalah orang-orang yang bisa bersenang-senang sedangkan menjadi si gasang, hidupnya gersang. Akhirnya si gasangterpaksa menutup mata dengan menyandarkan jidatnya ke tiang listrik. Di kampung saya, tiang listrik terlalu kaku bahasanya, kami menyebutnya 'teng-tengan' karena jika dilempar dengan batu, berbunyilah ia.. teng! Teng!Ya betul, kalau lemparannya kena.

Diantara banyak teman saya, ada tiga orang yang pintar bersembunyi. Jangan dulu bicara tentang sembunyinya Pak Setnov, sabar, nanti saya ceritakan di akhir. Fandi, teman saya yang paling lincah karena badannya cukup kecil dan gesit, biasa lari-larian. Kalau sudah umpetan, ia tak hanya bersembunyi di satu titik, tapi satu kampung pun rela ia kelilingi hanya untuk mencari kesempatan menyentuh teng-tengan duluan tanpa diketahui si gasang.

"Hong, ji ro lu!" Ujarnya gembira penuh kebangaan. Sambil kembali memakai sandal karena sedari tadi lari, sandalnya dicangking.

Lain lagi dengan Anton, anak pertama dari seorang pemuda Jawa bernama Cina. Li, begitu biasa bapaknya dipanggil di kampung. Nama lengkapnya saya kurang ingat persis, sepertinya Yuliyanto. Semoga tidak salah.

Suatu malam, Anton kami cari-cari tidak ketemu, padahal waktu sudah larut malam. Pasti emak kami sudah rindu anak-anaknya pulang kemudian belajar karena besok mesti sekolah. Usut punya usut, ia ternyata terlalu asik bersembunyi di kandang kambing. Ya, tidak salah. Kandang kambing yang lokasinya hanya sepelemparan kotoran kambing dari teng-tengan. Bedebah! Dari tadi dia santai-santai saja disana tanpa menghiraukan aroma-aroma yang akan hinggap di tubuhnya.

Kurang elok rasanya jika hanya teman-teman saya saja yang saya ceritakan kegilaannya dalam rangka bersembunyi ini. Saya pun tak kalah ekstrim, lho!

Jadi ceritanya gini.

Waktu itu, saya mencari-cari tempat yang kira-kira tidak mudah ditemukan untuk bersembunyi. Hingga akhirnya saya menemukan kompleks dapuran pring(rumpun bambu). Dalam kegelapan malam yang hanya ditemani sinar sang rembulan, saya mengendap-endap pelan mencari-cari celah untuk dapat bersembunyi di sekitar dapuran pring tersebut. Dasar namanya anak ingusan dan anak modal nekat, begitu melihat sebuah ruangan sempit di dalam rumpun bambu itu, saya seketika melesat ke dalam. Oh sungguh gelap.. Mungkin seperti berada di liang kubur. Saya duga-duga, tempat ini adalah tempat favorit bertelurnya ayam babon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline