Lihat ke Halaman Asli

Hamid Anwar

PNS Kelurahan

Geliga Krim, Sahabat Penjelajahan

Diperbarui: 3 November 2017   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rute-rute awal penjelajahan (Foto Pribadi)

Sebagai pemuda yang merasa bertanggungjawab kepada masyarakat, sudah semestinya saya merasa harus ikut aktif dalam mengedukasi masyarakat sesuai bidang dan minat saya; sejarah. Semenjak bergabung dengan salah satu komunitas sejarah di kota kelahiran saya, Magelang, saya menjadi sangat terinspirasi dan setiap waktu ingin selalu menambah pengetahuan saya.

Biasanya, sebulan sekali komunitas mengadakan kegiatan. Banyak rupa kegiatan tersebut mulai dari diskuci kecil-kecilan, bedah buku, touring sejarah bersama, gowes sejarah, dan jelajah sejarah. Dua yang saya sebut terakhir merupakan kegiatan yang paling saya minati selama ini.

**

Pagi itu saya dan rombongan telah sampai di bekas Stasiun Secang, Magelang.  Penjelajahan kali ini mengambil tema Jelajah Spoor dan merupakan kegiatan dengan tema yang sama untuk kesekian kalinya. Bedanya, kali ini adalah penjelajahan pertama yang membutuhkan stamina yang prima. Rute kami adalah melintasi bekas-bekas rel kereta api yang menghubungkan Secang dan Candi Umbul, Grabag sejauh kurang lebih 10 Kilometer.

Pada perjalanan awal, nampaklah bahwa rel kereta api tersebut kini telah berubah fungsi menjadi jalan kampung dan penampakan besi rel sudah tidak lagi nampak. Selanjutnya kami memasuki sawah-sawah penduduk yang menghijau. Sepanjang perjalanan, ada saja peristiwa yang lucu terjadi, seperti jatuhnya peserta saat melewati pematang sawah dan malah ada yang sandalnya putus karena jatuh terpeleset. Untungnya tidak terlalu fatal.

Pada bagian rute ini, kondisi rel sudah sangat mengenaskan. Banyak diantaranya sudah hilang kemungkinan dicuri, dan sebagian besar sudah ditutup tanah. Banyak yang diatasnya menjadi jalan setapak, namun banyak pula yang tidak bisa diperkirakan lagi jalurnya. Beberapa petunjuk yang bisa memperlihatkan jalur asli diantaranya adalah peta kuno, dan bekas-bekas jembatan.

Seusai melewati persawahan, kami harus merangsek masuk ke dalam hutan dan bergulat dengan semak belukar. Lagi lagi, jalur ini benar-benar telah terlihat mati sejak ditinggalkan pada akhir tahun 70-an lalu.

Jembatan Yang Masih Kokoh

Mendekati daerah Grabag, kami menjumpai sebuah jembatan besi dengan konstruksi underbeamyang masih sangat kokoh. Meski sudah tidak digunakan lagi, jembatan tersebut terlihat masih sangat kuat. Dan melalui rangkaian rel besi pada jembatan tersebut, diketahui bahwa rel-relnya telah berusia hampir satu abad. Dibangun pada masa kejayaan Netherlands Indische Spoorweg Maatschappij,perusahaan kereta api jaman kolonial yang berdiri pada akhir 1800 di Jawa.

Jembatan yang masih kokoh (Foto Pribadi)

Ada tiga peserta yang berani melewati jembatan ini dan salah satunya saya. Kami harus berhati-hati karena jembatan ini tanpa pengaman. Jika terjatuh, maka kami akan jatuh ke aliran sungai dangkal yang penuh bebatuan. Meskipun hati deg-degan, tetapi jika berhasil melewati, hati menjadi bangga. Kaki tak lagi gemetar dan merasa paling berani menyongsong masa depan cerah. Halah..

Pada kilometer-kilometer akhir penjelajahan, saat kami menembus rimbunnya perkebunan kopi, hujan melanda dengan cukup deras. Beruntung para peserta membawa payung dan jas hujan sehingga tidak terlalu masalah. Masalah datang kepada saya dan beberapa teman lain yang tidak membawa perlengkapan tersebut. Terpaksa, kami berlindung di balik banner dan mengambil daun pisang sebagai peneduh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline