Lihat ke Halaman Asli

Rifatul Hamidah

Apoteker, Mahasiswa MM Universtitas Wisnuwardhana Malang

Metode Lahiran: Apa, Bagaimana, Mau Pilih Mana? (Part 1: Induksi)

Diperbarui: 28 Juni 2024   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tulisan ini adalah pengalaman pribadi penulis, yang dialami oleh orang lain bisa saja berbeda

Saya adalah seorang ibu di usia akhir 30an dengan 3 anak, berarti tiga kali hamil dan tiga kali melahirkan. setiap kehamilan saya jarang merasakan mual muntah atau lemas, setiap hari biasa saja, aktivitas makan, kerja dan lainnya biasa saja, cuma bedanya kalau sedang hamil badan bertambah besar aja.

Hamil yang pertama di usia 26 tahun, tanpa direncanakan tiba2 tau aja kalau hamil, trimester 1,2 terlampaui dengan aman artinya asupan makan, minum, vitamin, semuanya tidak ada masalah, berat badan pun bertambah tapi tidak terlalu banyak. awal hamil 56 kg menjadi 65 kg.. memasuki trimester 3 tepatnya bulan ke 8, atu hari ketika kontrol, tensi agak naik 140/90 dari yang biasanya 110/70, awalnya saya curiga karena asupan vitamin effervescent yang mengandung bikarbonat menjadi biang keroknya, tapi oleh Dokter Sp.OG tidak di-amini, Beliau memutuskan bahwa kemungkinan PER (pre eklampsia ringan), sehingga diberilah terapi ASA (acetylo salicylic acid) 1x sehari.. kontrol bulan berikutnya tensi normal kembali, sehingga terapi dihentikan, dan diberikan advis agar kontrolnya maju menjadi 2-mingguan, bukan bulanan lagi karena sudah mendekati partum (lahiran)

Tersebutlah kontrol di kehamilan di minggu ke 32, seperti biasa, pagi saya masih kerja, sore dijemput suami langsung ke RS tempat periksa. setelah antri beberapa saat, timbang badan, tensi, lalu USG. Sang Dokter terperanjat, saya ikutan kaget merasa ada yang tidak beres. Beliau belum menjawab, lalu probe usg diarahkan lagi ke perut saya, dan kembali meneliti beberapa saat, kemudian Beliau berkata "Dek, anakmu ini sudah nggak ada".
Saya coba mencerna kata-kata Dokter dan masih belum loading, "gimana Dok? tapi dia masih gerak2 meskipun tidak selincah biasanya" saya coba berargumen.
Beliau menjawab "Saya tidak mau memutuskan dulu, coba kamu pergi ke Dokter Spesialis Radiologi, untuk second opinion"

Baiklah saya dan suami bergeser ke tempat praktik dr. Radiologi, ketika Beliau USG, menghela napas sebentar lalu bilang

"Dek, anakmu ini sudah meninggal, saya tidak bisa memastikan berapa lama, yang jelas lebih dari 24 jam. Habis ini kamu kembali ke dokter Sp.OG ya untuk tindak lanjutnya. emane wes besar ini hampir 9 bulan, sabar ya belum rezekimu anak ini".

Seperti mendengar petir, tapi sudah nggak  kaget karena sempat melihat kilatan cahaya langit, saya jawab

"inggih Dokter, terima kasih, berapa saya bayarnya (karena saya tahu betul USG disini harganya diatas 200ribu)".

Beliau menukas "Ora usah, kamu wes kesusahan, aku ndak bisa bantu apa-apa, sing sabar". Saya ingat betul raut wajah Beliau, benar-benar membuat mata basah mengingatnya, meskipun hanya lewat tulisan semacam ini.

Kami kembali ke RS untuk menemui dokter Sp.OG dan menyampaikan hasil dari Dokter Radiologi, kemudian Beliau berkata "Dek, bener ini hasil USG sama dengan yang saya perkirakan. jadi anakmu harus dilahirkan. saran saya lahirnya melalui jalan lahir saja dengan dibantu obat. Kamu boleh masuk rumah sakit (mrs) malam ini juga atau besok juga tidak papa. satu hal yang harus kamu ingat adalah, tidak ada anak bayi yang meninggal di dalam kandungan lalu meracuni ibunya". Kemudian saya dan suami memutuskan untuk mrs esok harinya saja agar malam ini bisa istirahat dirumah.

Keesokan harinya, sabtu pertengahan bulan Januari sekira duabelas tahun lalu, saya berangkat ke RS dengan ditemani suami, ibu, dan kakak. saya masuk di ruang rawat dan mulailah diberi obat untuk membuat kontraksi kandungan, karena saya adalah tenaga kesehatan saya selalu minta info nama obat yang akan dimasukkan. dimulai dari 1/4 tablet Gastrul per 6 jam sampai naik menjadi 1 tablet,  acara mules dan nyeri mulai ringan sampai rasanya entah di skor berapa, terus menerus sampai hari minggu tetapi ketika dicek oleh Bidan berapa pembukaan tetap di angka satu. sebelum tengah hari Dokter visite dan memberi advis bahwa obatnya diganti menjadi obat melalui infus (istilahnya di drip), obatnya tentu masih ingat dong Syntocinon, diberikan dalam satu kantong infus untuk 6 jam. bila dalam 6 jam belum ada lahir, tambah 1 bag lagi. waah mendengar ini rasanya mau nangis karena overthinking, lha kalau obat masuk jam 3 sore, berarti baru habis jam 9 malem, kalo belum lahir tambah 1 bag lagi lahiran jam 3 pagi dong, masih lama dong mulesnyaa hiks hiks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline