Pemilu presiden sudah berlalu. Dengan motivasi dan persepsi masing-masing, rakyat sudah memilih calon presiden yang menurut mereka baik. Bisa jadi sebagian juga, menurut para tokoh baik dan rakyat mengiyakan. Perbedaan sudut pandang sangat lazim dan normal dalam sebuah tatanan negara "demokrasi". Saat ini rakyat Indonesia sedang menunggu "kepastian" kelanjutan dari pesta rakyat Pemilu Presiden 09 Juli 2014 kemarin. Semoga semua pihak yang terkait dan mengaitkan diri dengan pemilihan presiden ini, menjadi bijak, menuntun diri mereka pada jalan yang benar, dan hanya berpikir untuk kondisi bangsa yang lebih baik dan bermartabat. Saya menulis analisa ini, 5 hari sebelum pelaksanaan pilpres . Tulisan ini adalah tugas kuliah psikologi tentang teori persepsi.
Sebagai guru, saya perlu berpikir bijak untuk memperlihatkan aspirasi politik saya. Karena biasa jadi, apa yang saya sampaikan mempengaruhi sudut pandang murid-murid saya. Jika sudut pandang positif, itu yang diharapkan. Namun jika sebaliknya, maka saya sudah menjadi bagian dari lembar hitam sebuah keteladana dalam pendidikan.
Berikut ini saya share analisa saya tentang calon presiden negara kita, hanya dari satu sudut terjauh pemikiran guru sekaligus mahasiswa fakultas Psikologi.
Saya mencoba merumuskan analisa dengan melihat dan menggunakan kalimat-kalimat positif saja. Hal ini untuk menjaga “independensi” saya dalam kajian keilmuan psikologi berdasarkan teori persepsi Gestalt.
Teori Gestalt memandang kejiwaan manusia terikat pada pengamatan yang berwujud kepada bentuk menyeluruh. Istilah ‘Gestalt’ merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu ‘form’, ‘shape’ (dalam bahasa Inggris) atau bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, dan totalitas. Terjemahannya dalam bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain; ‘shape psychology’, ‘configurations’, ‘whole psychology’ dan sebagainya. Karena adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahannya, akhirnya para sarjana di seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah ‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan kedalam bahasa lain.
Menurut teori Gestalt secara alamiah manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu dan melakukan penyederhanaan struktur di dalam mengorganisasikan obyek-obyek persepsual (Brennan, 1991; Hayes, 1978). Dengan demikian, sejumlah stimulus dari lingkungan cenderung diklasifikasikan menjadi pola-pola tertentu dengan cara yang sama oleh kebanyakan orang.
Berdasarkan pemikiran ini, Gestalt mengajukan beberapa prisip kecenderungan orang di dalam pengenalan pola yang berkaitan dengan obyek atau informasi visual (Bresnnan, 1991; Solso, 1998).
Ada 4 prinsip yang bisa digunakan untuk menganalisa sosok calon presiden Indonesia. Prinsip-pronsip tersebut sebagai berikut:
1.Proximity/kedekatan : Obyek visual yang terletak berdekatan atau tampil dalam satu waktu yang bersamaan cenderung dipersepsi sebagai satu kesatuan.
e.g. selalu bersama dianggap seperti pasangan
2.Similarity/kemiripan : Obyek visual yang memiliki sturktur sama, atau mirip satu sama lain. Dan dilihat sebagai satu kesatuan. Memiliki hubungan saudara dengan artis/tokoh yang mirip tersebut.
3.Closure/ketertutupan : elemen obyek atau stimulus yang kurang lengkap cenderung dilihat lengkap. Dalam bahasa komunikasi disebut kecenderungan orang melengkapi informasi.
4.Figure – ground : Fokus pada salahsatu diantara dua obyek, sehingga obyek pertama menjadi lebih terlihat dan obyek kedua sebagai background yang “terabaikan”
Berikut ini, saya sajikan foto dari calon pemimpin no. 1 dan analisanya.
[caption id="attachment_336077" align="aligncenter" width="396" caption="facebook.com"][/caption]
Untuk calon presiden kita yang nomor 1 ini, saya memakai 3 prinsip dalam menganalisa gambar di atas.
Pertama, Similarity/kemiripan
Mengapa demikian? Mari kita lihat gambar berikut:
[caption id="attachment_336080" align="aligncenter" width="300" caption="sejarahdunia.info"]
[/caption]
Dari foto di atas, dapat dilihat ada kemiripan gaya dalam berpidato, property; microphone, costume style; baju, peci, dan ekspresinya juga hampir memiliki kemiripan.
Hal yang ingin dibangun oleh calon presiden nomor 1 adalah, menciptakan kenangan yang “sama” dengan Presiden RI I. semangat patriotisme, kecerdasan dalam berorasi, dan simbol peci sebagai ciri budaya sekaligus salahsatu agama. Dan bisa jadi, orang lain akan menghubungkan “kemiripan” kedua tokoh ini sebagai hubungan kesamaan visi dan misi, atau mungkin juga hubungan sejarah perjuangan menjadi orang nomor 1 di Negara ini.
Yang berbeda dari gambar kedua tokoh di atas adalah, aksesoris pin yang mereka pakai. Garuda merah dinyatakan sebagai lambing partai yang mengusung calon presiden no 1. Saya sengaja “tidak” mencari informasi tentang makna garuda merah ini, namun dalam pengetahuan umum, sudah kita ketahui bahwa garuda adalah lambang Negara Indonesia. Maka, rasa nasionalisme kebangasaan mencoba disampaikan kepada masyarakat.
Kedua: Closure/ketertutupan
Begitu banyaknya akses informasi yang disuguhkan kepada masyarakat, maka informasi apapun yang disajikan secara tidak menyeluruh, akan mengalami “kelebihan” atau “pengurangan” yang mempengaruhi persepsi masyarakat. Hal ini yang menyebabkan, kesimpulan setiap orang dan elemen masyarakat yang diwakili kelompok, lembaga, media, dan tokoh menjadi berbeda.
Seperti contoh; profil dari calon presiden nomor 1 ini dengan latar belakang keluarga, pendidikan, karir pekerjaan, sampai kehidupan rumah tangga. Sehingga muncul beberapa statemen. Beliau adalah pemimpin yang tegas, karena pernah menjadi komandan kopasus. Pemilih calon presiden ini adalah para elit dan masyarakat menengah ke atas karena pendidikan dan keluarganya, calon presiden ke 1 ini sudah memiliki cita-cita menjadi presiden dan tidak sekedar aji mumpung (kabetulan), dan lain-lain.
Ketiga: Figure – ground
Seringnya tampil independen, maka pada teori ini saya memilih fokusnya adalah gambar diri dan aksesoris yang sudah saya bahas di prinsip similarity, terutama pada kostum dan aksesoris.
Calon persiden nomor 1 dengan ekspresi, suara, dan tubuh yang tegap memperlihatkan sosok yang cukup ekspresif. Memperlihatkan apa yang dirasakan melalui ekspresi wajah dan gesture tubuh secara langsung, tidak bisa menutupi “emosi” yang dirasakan.
Berikut ini akan saya hadirkan foto dengan situasi dan kondisi yang sama pada calon presiden nomor 2.
[caption id="attachment_336079" align="aligncenter" width="300" caption="nurseps.com"]
[/caption]
Untuk menganalisa yang berdasarkan teori Gestalt pada calon presiden nomor 2 ini, saya mencoba memakai 3 prinsip yang sama juga.
Pertama: Similarity/kemiripan
Saya tidak akan menganalisa kostum baju kotak-kotak yang dikenakan calon presiden nomor 2 ini. Karena kostum ini sudah menjadi ciri khas pada awal beliau menjadi gubernur.
Mari kita lihat foto-foto berikut ini:
[caption id="attachment_336081" align="aligncenter" width="300" caption="newsinfo.inquirer.net"]
[/caption]
Pada ekspresi dan pendukung yang tersajikan dalam pengambilan gambar, menyampaikan pesan bahwa kedua sosok ini memiliki pendukung yang banyak. Kepribadian yang humble disimbolkan dengan senyum saat berkampanye.
Pada calon persiden kita nomor 2, tangan dengan salam 2 jari menjadi informasi yang berulang-ulang dan akan diingat dalam long term memory para pemilih. Kemiripan postur tubuh juga cukup terlihat pada dua tokoh ini.
Kedua: Closure/ketertutupan
Seperti halnya analisa saya pada calon presiden nomor 1, informasi tentang keluarga, pendidikan, dan karir pekerjaan juga mempengaruhi persepsi pada prinsip ketertutupan ini. Karir sebagai walikota dan gubernur yang merakyat, mendapatkan point tersendiri dan menjadikan beliau dianggap sebagai pribadi yang memahami persoalan rakyat.
Aksi turun ke lapangan saat bertugas juga memberikan nuansa kepemimpinan yang merakyat. Kegemaran terhadap musik rock dan keikutsertaan di beberapa konser musik, melunturkan gaya birokrasi yang selama ini dimiliki oleh para pejabat.
Terlepas dari semua informasi pada sisi lain tentang sosok calon presiden nomor 2 ini, rekam jejak menjadi jalan kesimpulan saya dalam prinsip closure/ketertutupan.
Ketiga: Figure – ground
Tidak bisa dipungkiri, disamping keberadaan pendukung pada banyak foto yang disajikan dalam media, sosok presiden ke-4 negara kita juga sering menyertai kegiatan kampanye calon presiden nomor 2 ini.
Dan saya akan menganalisa dengan fokus pada sosok calon presiden nomor 2 saja. Di tengah pemberitaan yang sangat beragam, sosok ini masih cukup mampu bersikap “kuat”. Pendukung yang cukup loyal dengan harapan menghebatkan Indonesia, menjadi energi tersendiri bagi calon presiden ini.
Sebagai warga Negara yang bangga dengan segala yang dimiliki bangsa ini, saya berharap setiap orang tidak mudah mengeluarkan kalimat-kalimat negatif, apalagi profokatif. Analisa yang saya sampaikan juga, sangat terbatas dengan kedalaman pemahaman teori dan kemampuan saya dalam berikap obyektif.
Semoga Tuhan YME memilihkan presiden yang mampu mengabdikan dirinya, untuk menuju Indonesia yang lebih baik dan diperhitungkan oleh Negara lain karena kemuliaan akhlak pemimpin, masyarakat, dan bangsanya. Amiiiin …..