Penulis sengaja memakai istilah "berbagi peran" pada judul tulisan ini. Lho, apa bedanya dengan "bertukar peran"? Menurut penulis dalam "berbagi peran" itu terjadi proses saling melengkapi antara suami dan istri tanpa melupakan peran dan kewajiban pokok masing-masing. Sedangkan dalam istilah "bertukar peran" tersirat makna adanya peran yang terbalik, suami mengerjakan peran istri dan sebaliknya istri melakoni peran suami.
Boleh jadi yang terjadi adalah, maaf, suami lupa peran utamanya sebagai leader dan pencari nafkah, sedangkan istri alpa dengan peran intinya sebagai pengayom anak-anak serta manajer rumah tangga.
Mungkin ada pembaca yang tak sepakat dengan pendapat saya tersebut, ya gapapa. Itu wajar dan sah-sah saja. Di alam demokrasi ini kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi kita, yaitu pasal 28 UUD 1945. Setuju ya. Gitu aja kok repot!
Di saat pandemi ini merupakan momen yang tepat bagi pasangan suami istri untuk saling berbagi peran. Penulis yakin jauh sebelum pandemi pun proses berbagi peran sudah dilakukan oleh banyak keluarga. Menurut penulis, di zaman yang serba cepat berubah ini, berbagi peran sudah menjadi tuntutan sekaligus kebutuhan dalam keluarga.
Misalnya, untuk menambah penghasilan istri bisa bantu-bantu mencari tambahan, sementara suami bisa meringankan tugas istri dengan mengerjakan urusan rumah, seperti memasak dan mencuci. Jika tugas saling berbagi peran ini dikerjakan dengan ketulusan kedua belah pihak, insyaa Allah suasana rumah tangga bisa lebih guyub dan harmonis.
Memang di zaman sekarang ini lumrah sebuah keluarga ada asisten rumah tangga (ART), terutama di perkotaan. Boleh dibilang semua urusan kerumahtanggaan diborong oleh ART, seperti mencuci, memasak, menggosok, dan mengepel. Disebabkan para istri yang (juga) bekerja di luar akhirnya tugas-tugas domestik tersebut diambil alih oleh ART, bahkan untuk mengasuh balita sekalipun. Sedangkan para suami justru lebih asyik dengan peran publiknya seperti mencari nafkah dan peran-peran sosial lannya.
Akibat kesibukan suami dan istri yang sama-sama bekerja akhirnya perhatian terhadap anak berkurang, apatah lagi untuk urusan remeh temeh di rumah. Justru di sini terlihat tidak adanya saling berbagi peran antara keduanya, karena asyik dengan "dunianya" masing-masing. Dalam banyak kasus, anak yang sering menjadi korban akibat "ulah" ayah ibunya.
Pada kondisi tertentu memang tidak bisa dihindari munculnya kondisi bertukar peran suami dengan istri. Misalnya, istri bekerja sebagai TKI di luar negeri, mau tak mau sang suami yang mengambil alih tugas-tugas kerumahtanggaan, seperti mengasuh anak, masak, dan mencuci. Potret keluarga seperti ini bisa kita lihat pada sinetron "Dunia Terbalik" yang ditayangkan di salah satu stasiun tivi swasta.
Sinetron drama berbumbu komedi ini dengan sangat pas memotret pertukaran peran pada keluarga di Ciraos di mana para suami melakoni peran domestik akibat ditinggal istri yang mencari nafkah sebagai TKI. Konon, diceritakan dalam sinetron tersebut, fenomena "dunia terbalik" ini sudah berlangsung turun-temurun selama puluhan tahun.
Kondisi lain yang berpotensi menimbulkan pertukaran peran suami istri yaitu saat suami terkena PHK. Sementara suami belum bekerja kembali maka 'terpaksa" istri yang bekerja agar dapur tetap ngebul. Meskipun begitu, faktanya tidak sedikit para istri yang bisa menjalankan dua peran sekaligus, mengurus keluarga dan mencari nafkah.
Sebenarnya pertukaran peran dalam kasus ini bersifat sementara. Jika suami sudah bekerja kembali, seharusnya peran suami istri dikembalikan kepada situasi dan kondisi yang normal.