Lihat ke Halaman Asli

Hamdanul Fain

Antropologi dan Biologi

Berburu Makanan Darurat di Malam Gempa Berkekuatan Magnitudo 7 di Lombok Tiga Tahun Lalu

Diperbarui: 11 Februari 2021   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Hampir tiga tahun berlalu, gempa magnitudo 7 di Lombok, masih menyimpan kenangan haru. Total korban meninggal mencapai 564 orang (Data update 1 Oktober 2018). Waktu itu kebetulan saya sedang berada di Kabupaten Lombok Utara, di daerah Kayangan.

Saya masih terbilang beruntung, karena malam itu baru selesai makan dan hendak mencuci tangan ketika akhirnya gempa mulai mengguncang. Berbeda dengan masyarakat sekitar yang kebanyakan belum makan. Perut keroncongan awalnya memang tertutupi takut dan sedih, akan tetapi begitu malam semakin pekat, tuntutan nutrisi tubuh tidak dapat dipungkiri. Saya yang sudah makan malam saja merasa lapar lagi, apalagi mereka yang belum makan.

Berbekal titah dari warga yang lebih tua, jadilah kami yang muda-muda ini beraksi turun ke kebun. Kebetulan lapangan tempat kami berkumpul berada di dekat area bercocok tanam. Ubi, singkong, dan kacang tanah terkumpul dengan cepat. Kayu bakar diperoleh agak jauh ke arah terjal bukit di balik areal tanaman. Kami memunguti pelepah, sabut dan sisa batok kelapa.

Langit cerah dan angin bertiup kencang. Saya tidak sempat membawa jaket ataupun sarung. Benar-benar badan kerempeng ini sangat kedinginan malam itu. Sedikit tertolong dengan nyala api unggun yang dibuat. Beruntung malam itu tidak turun hujan, walaupun sempat gerimis sebentar. Satu-persatu warga mendekat ke arah api, guna menghangatkan tubuh.

Sambil menghangatkan diri, kami siapkan makanan darurat tadi. Ubi, singkong, dan kacang tanah dibenamkan di bawah bara api, kemudian ditumpuk dengan batu kerikil agar tidak gosong.

Di depan api unggun, kami menghibur diri dengan cerita-cerita, sesekali cerita mengharukan, sesekali cerita mistis, dan sesekali cerita humor yang mengundang tawa. Beberapa kali tawa kami disambut gempa susulan yang getarannya tidak besar.

Intensitas gempa kecil memang cukup tinggi karena terus terjadi dengan jarak jeda beberapa menit saja, bahkan sampai subuh tetap seperti itu. Catatan terakhir yang sempat saya baca, jumlah gempa susulan sebanyak 447 kali.

Api unggun mulai meredup perlahan. Tersisa bara api merah yang masih mampu menghangatkan badan. Mulailah satu persatu tumpukan ubi, singkong, dan kacang tanah dicungkil dengan kayu. Beberapa yang belum matang diletakkan kembali ke bara api. 

Kayu, sabut dan pelepah kelapa kembali ditumpuk agar api unggun menyala. Di depan nyala api, kami beramai-ramai menyantap makanan darurat yang diperoleh dari kebun milik orang. Ya, namanya saja darurat, namun sungguh terasa begitu nikmat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline