Di satu episode penjelajahan hidup
Aku begitu haus memandangi cermin
Mencari goresan pada kulit wajah
Mengulik jawab pada suara-suara di luar kamar batinku
Tak kusadari rumah tetanggaku dirobohkan perampas
Mereka pergi tanpa alas kaki dan hanya beratap langit, meratap tanpa uluran tangan
Karena semua sibuk memandang cermin
Memandang lekat-lekat lekuk-lekuk wajah, dimana tempat tergores
Kata-kata telah mati
Dihantui perasaan bersalah pada diri sendiri
Manakala kumemandang bayang-bayang tubuhku
Halaman depan dan pagar beton rumahku roboh
Rupanya kini giliranku dirampas dan hanya mampu terdiam
Seiring matinya kata-kata
Kami semua tersisih, tanpa alas kaki dan hanya beratap langit
Betapa sesal tak mampu memutar ulang sang waktu
Seiring matinya kata-kata
Semuanya sudah terlambat
...
Mengapa kau tak mengataiku?
Satu tetangga memarahiku dengan wajah sendu
Mengapa kalian tak mengataiku?
Ia sodorkan tanya pada tetangga lainnya
Semuanya menjawab dengan tanya yang sama
Akupun begitu
Dan barulah kami sadari
Terlalu sibuk mencari retak di wajah sendiri, telah mematikan kata-kata
Sekedar mengingatkan datangnya badai kehancuran
Matinya kata-kata telah meluluhlantakkan kampung kami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H