Lihat ke Halaman Asli

Hamdanul Fain

Antropologi dan Biologi

Banjir, Banjir, Banjir...

Diperbarui: 19 Januari 2021   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

antara foto via kompas.com

Suara mesin dan kedebruk pohon berjatuhan sudah bosan didengar. Sama membosankannya dengan suguhan protes rakyat melarat, kepada konglomerat. Telinga-telinga bos besar sudah terlalu acuh dan semakin riang, jeritan rakyat dianggapnya alunan musik saja. Tambah bergoyang ke kedalaman belantara.


Isi hutan dicuri, dijual, digunduli sampai menangis. Air matanya tumpah, dan ...
Banjir, banjir, banjir...

Bos-bos besar menonton saham dan banjir dari kejauhan. Perintahkan anak buah beri sembako. Seolah malaikat datang merangkul hangat. Satu, dua bulan, banjir usai bersama digulungnya lapak-lapak pengungsian. Para korban tetap berpredikat melarat, dan bos-bos besar sebagai konglomerat.

Tiga, empat, atau lima minggu kemudian. Suara bising mesin dan kedebruk pepohonan mengusik hewan-hewan endemik. Bajingan-bajingan itu sepertinya ingin mengajarkan supaya hewan endemik ikut mengembik, menjadi kambing pemakan plastik dan kertas.

Berkubik-kubik kayu diangkut kendaraan berat. Semak perdu dan herba lain tertimbun di tanah gambut. Suku anak dalam kehilangan tanaman yang penuh kandungan zat obat.

Banjir, banjir, banjir...
Episode yang sama terulang lagi
Hanya saja, bumi sudah setengah telanjang. Auratnya tersingkap. Membuat liur konglomerat semakin tumpah-tumpah.

Dulu pernah ada yang teriak kekayaan alam dijarah, ibu pertiwi diperkosa. Tapi...
Cuih...!!!
Nyatanya mereka bagian dari konglomerat yang memperkosa ibu pertiwi.

Dan banjir,
Datang kembali
Banjir, banjir, banjir...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline