Lihat ke Halaman Asli

Hamdanul Fain

Antropologi dan Biologi

Ketika Omnibus Law Usulan Jokowi Menuai Kritik, Kalo Bisa Dipersulit, Kenapa Harus Dipermudah?

Diperbarui: 20 Februari 2020   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kompas.com

Omnibus law Rancangan Undang-undang cipta kerja membuat ramai dunia maya, sebab dianggap akan mempermudah perusakan lingkungan. Ijin lingkungan ditiadakan untuk mempermudah masuknya investasi. Ya, demi investasi, atas nama investasi, sekali lagi demi investasi, lingkungan dikebiri.

Saya teringat ucapan seorang mentor di sebuah grup Whatsapp sebuah proyek riset. Dia berkata, "Kalo bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah." Pernyataannya ini serempak membuat anggota grup lain geli bahkan tertawa. Salah seorang mentor yang lain langsung membalas "Gue suka gaya loh".

Saya terkenang dengan peristiwa yang mungkin mengundang peristawa tersebut. Kalimat sakti saya menyebutnya. Sebagian besar orang tentu sudah terdoktrin dengan ucapan sebaliknya, yaitu kalo bisa dipermudah, kenapa dipersulit? Mindset kita akan selalu lebih mengingat kalimat yang ini. Mengapa?  Karena kita sudah terkurung di dalam birokrasi ribet yang suka mempersulit.

Nah, sebagian kalangan mengatakan sekarang sudah memasuki babak baru birokrasi negara kita. Upaya mempermudah segala urusan dilakukan pemerintah. Sampailah pada munculnya usulan Presiden Jokowi tentang Omnibus law RUU Cipta Kerja yang draftnya disampaikan ke DPR RI. 

Sayangnya, upaya mempermudah urusan di birokrasi ini dianggap sudah offside. Seperti yang dikatakan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih. Ia memperingatkan supaya pemerintah tidak berlebihan yang justru nantinya bisa memperkeruh suasana.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos juga menganggap Omnibus law telah melenceng dari tujuan awal. Apa yang terjadi malah substansinya seakan-akan mengeksploitasi buruh dan sumber daya alam. Ekonom senior sekaligus pemerhati lingkungan, Prof Emil Salim, bahkan mengingatkan pemerintah agar jangan sampai mengabaikan lingkungan.

Ibarat bermain bola, seharusnya wasit segera meniup peluit. Tapi dalam hal ini apakah wasit akan tetap didengarkan, atau sang pembawa bola terus saja menggoreng bola dan melakukan tendangan yang menghasilkan kebobolan di gawang lawan. Semoga tidak kebobolan di gawang sendiri (baca "gawang sendiri" : rusaknya lingkungan dan hilangnya hak-hak warga negara).

Kalimat "Kalo bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah" dari mentor ini, patut menjadi inspirasi. Dalam hal yang berkaitan dengan rusaknya lingkungan dan terancamnya hak-hak warga negara, kita mesti menyorakkan kalimat ini di dalam dada.

"Kalo bisa (perusakan lingkungan) dipersulit, kenapa harus dipermudah?" Sudah tentu harus dipersulit, supaya kerusakan lingkungan mendekati angka nol. Sehingga sustainable development goals (SDG's) tercapai.

"Kalo bisa (hilangnya hak-hak warga negara) dipersulit, kenapa harus dipermudah?" Sudah tentu harus dipersulit, agar tidak ada hak warga negara yang hilang, supaya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa menjadi nyata.

Bacaan: 1, 2,3, 4




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline