Kabut masih menyelimuti padahal pagi sudah disinari matahari sepenggalah. Di rumah kepulauan ditinggali dua bersaudara, kebaya dan hijab. Mereka memang bukan saudara kandung, meskipun saudara angkat, kedekatannya luar biasa. Saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain.
Di bawah suasana itu. Mereka duduk di teras depan. Rumah kepulauan, diselingi kolam-kolam ikan yang luasnya melebihi luas rumah. Ada dua centong kecil seduhan kopi. Campuran arabika dan robusta. Beberapa potong pisang dan ubi rebus.
"Kanda, mengapa ada yang ingin mencampakkan aku di tiap tanggal 1 Februari?" Hijab tampak lesu memandang ke halaman.
"Jangan sedih dinda. Jangan kau pedulikan mereka. Hanya orang-orang iseng yang tidak menggunakan akal pikiran dan perasaan." Kebaya berusaha menenangkan kemelut hati yang tergambar dari raut wajah adiknya itu.
Hijab menarik napas dalam. Perlahan dihembuskan, terasa berat. Ia berusaha menstabilkan keresahan hatinya.
Kebaya yang melihat adiknya, turut sedih. Ia pun kesal juga dengan beberapa gelintir orang yang membuat resah adiknya.
"Apapun yang terjadi, dinda. Kakakmu ini akan selalu menjagamu. Tidak satupun yang bisa menjahatimu. Kita akan selalu bersama." Tegas kebaya.
Air mata hijab mengalir. Tetesan-tetesannya bermuara ke kolam-kolam di halaman. Rumah sempat bergetar, kolam-kolam bergelombang, turut merespon kegundahan Hijab. Ingin rasanya mereka lumat habis siapapun yang membuat sedih tuannya itu.
Hijab berusaha tersenyum, walaupun masih terasa perih. Setidaknya, senyum membantunya melupakan perasaan yang tercabik, gumamnya.
"Tersenyumlah adinda. Karena senyum adalah sedekah. Kau harus belajar memberi senyum pada orang-orang yang berusaha menjahatimu. Di situlah nanti kau akan merasakan keikhlasan. Keikhlasan pengabdian pada Tuhanmu."
Kebaya memang sangat sufistik. Tapi ia tidak pernah mau disebut sufi. Ia hanya ingin membersamai adiknya, hijab. Untuk selamanya.