Lihat ke Halaman Asli

Hamdanul Fain

Antropologi dan Biologi

Apakah Lembaga Survei Dapat Memicu Kecurangan Quick Count?

Diperbarui: 11 Mei 2019   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi ketika penayangan QC terbalik di salah satu stasiun televisi (Sumber: merdeka.com)

Kontestasi Pemilihan Wakil Rakyat yang akan duduk di Istana Negara dan Kursi legislatif sudah menjelang satu bulan berlalu. Separo mengatakan pemilu sudah dilakukan jujur dan adil, separo lagi berusaha meyakinkan banyak kecurangan.

Media sosial riuh ramai dengan perdebatan. Seolah tidak ada yang mau kalah. Hanya siap menang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berupaya melakukan penghitungan suara. Hasil resmi siapa gerangan pemenang yang akan menjadi "babunya rakyat Indonesia"(meminjam gaya bahasa Cak Nun) baru akan diumumkan 22 Mei mendatang.

Kegaduhan muncul lantaran lembaga survei merilis hasil perhitungan cepat atau quick count (QC) hasil Pilpres dan Pileg. Lembaga yang tumbuh kian menjamur ini seolah lembaga resmi yang seratus persen keputusannya harus dipercaya dan diikuti.

Hasil QC Pilpres lah yang paling mengundang kegaduhan. Dimana pasangan Jokowi-Ma'ruf dirilis memperoleh sekitar 54%, sementara Prabowo-Sandi 45%. 

Hasil yang secara bebas dipertontonkan di layar televisi, koran kertas dan koran online. Konyolnya, di awal penayangan hasil QC di televisi sempat terbalik, Jokowi-Ma'ruf 45%, Prabowo-Sandi 54%. Hanya hitungan kurang dua menit, penayangan dikoreksi kembali. Kekonyolan ini mengundang kecurigaan pemirsa. Menduga-duga ada upaya kesengajaan membolak-balik hasil QC sampai mengambil kesimpulan ada kecurangan.

Lantas muncul pertanyaan, apakah lembaga survei bisa mencurangi hasil QC?  Jika iya, bagaimana caranya? Apakah lembaga survei yang ada saat ini sudah benar-benar independen sehingga tidak ada hasrat atau nafsu sedikitpun untuk mencurangi QC?  Tulisan ini mencoba menelusuri di poin-poin mana QC dapat dipecundangi oleh lembaga survei.

Dalam penentuan jumlah sampel yang mesti diambil dari total populasi TPS. Penentuan berapa TPS yang harus diambil datanya dalam survei tidak dapat dilakukan dengan asal-asalan. Kaidah-kaidah statistika diaplikasikan di sini. Jumlah sampel yang tepat dapat memberikan gambaran yang akurat dari hasil pilpres dan pileg.

Keteracakan TPS yang dijadikan sampling juga perlu mendapat perhatian. Lembaga survei tentunya sudah jauh-jauh hari melakukan pemetaan di mana saja kubu-kubu yang bertarung itu unggul. Daerah mana saja paslon yang satu mengungguli paslon lainnya, begitu pula sebaliknya. 

Lembaga survei dapat saja bermain dalam hal keteracakan ini. Pengambilan data yang seharusnya acak tanpa memperhatikan daerah basis paslon tertentu, malah dimainkan. Pengambilan sampel bisa saja lebih banyak di sebaran daerah dimana paslon tertentu unggul, sehingga hasil QC yang dihasilkan akan memperlihatkan keunggulan paslon tertentu.

Di beberapa kesempatan, Guru besar statistik IPB, Prof Asep Saefudin meminta lembaga survei yang bernaung di Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) untuk membuka metode survei, bahkan sampai di titik mana saja sampling TPS dilakukan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline