Lihat ke Halaman Asli

Analisis Kritis Terhadap Penerapan SP di Sekolah

Diperbarui: 27 Januari 2017   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi kebanyakan guru bimbingan dan konseling SP (baca ; Surat Pernyataan atau perjanjian siswa)  merupakan jalan pintas untuk menyelesaikan kasus-kasus berbentuk prilaku atau kebiasaan, mis ; masalah membolos, biang onar atau gaduh di kelas, merokok, perkelahian atau agresivitas, pemalakan, mabuk-mabukan, sampai dengan pelecehan seksual.

Penerapan SP selalu diiringi dengan pemberian poin pelanggaran, dengan harapan setelah anak mendapatkan SP dan poin maka ia akan berubah dan berusaha memperbaiki perilakunya dikemudian hari. sebetulnya kedudukan SP sendiri merupakan tindak lanjut dari kegiatan konseling yang telah dilakukan oleh si guru BK, dengan kata lain tanpa adanya penyadaran yang memberikan makna perubahan kepada si anak SP tidak akan berarti apa-apa, demikian juga konseling, konseling yang hanya merupakan pembicaraan basa-basi saja jelas-jelas tidak akan memberikan manfaat langsung kepada anak, apa lagi untuk menyelesaikan masalah prilaku?

Hal lain yang tidak kalah penting dalam memberikan treatment prilaku adalah kecermatan guru BK itu sendiri dalam menggali profil individual seorang anak, bisa saja prilaku tidak terpuji anak didapatkan dari lingkungan tempat dimana ia bergaul, atau sikap tidak terpuji itu bisa jadi merupakan dampak dari lengahnya kontrol orang tua terhadap anak, menurut pengalaman yang saya temui untuk masyarakat perkotaan yang latar belakang kehidupan orang tua dua-duanya bekerja bisa memberikan dampak terhadap lengahnya pengawasan orang tua terhadap anak, orang tua yang seharusnya bisa menjadi agen kendali terhadap prilaku anak perannya bergeser menjadi orang tua karier. Berbeda dengan masyarakat barat, walaupun para orang tua bekerja, mereka tetap bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan seorang anak, bukan hanya pemenuhan kebutuhan yang bersifat materil, tetapi pemenuhan kebutuhan yang bersifat non materil juga, itulah mengapa pola pikir masyarakat disana lebih maju daripada sebagian masyarakat kita.

Kembali kepada topik bahwa perilaku menyimpang seperti yang saya sebutkan diatas tidak akan pernah tuntas hanya dengan SP apa lagi tanpa penyadaran sebelumnya akan kepentingan merubah prilaku yang salah tersebut. Masalah perilaku menyimpang bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang guru, karna perilaku menyimpang merupakan akibat dari kebiasaan (kurang baik) yang didapatkan anak, orang tua bisa saja salah karna lengah kendali terhadap anak. masyarakatpun demikian, masyarakat yang menjual rokok kepada anak-anak sekolah jelas-jelas merupakan tindakan yang salah, mereka cari untung dimasa kini, tetapi tidak mencari untung dimasa depan? bahwa tindakan mereka dapat merusak generasi dikemudian hari.

Untuk memberikan terapi perilaku perlu juga guru BK menjalin kerjasama dengan orang tua siswa untuk memodifikasi kebiasaan siswa, diantaranya membuat jadwal harian (kontrak perbaikan prilaku) yang telah disepakati bersama (oleh siswa, orang tua siswa, dan guru BK) serta menawarkan (kepada siswa) sanksi apa yang sesuai jika dikemudian hari siswa tersebut kembali melanggar kebiasaan lamanya. pemberian sanksi yang saya maksud adalah sebagai bentuk punishment, sanksi diibaratkan sebagai jalur kereta yang membatasi prilaku kurang baik terulang kembali. 

Perlu diingat bahwa lama waktu kontrak perbaikan prilaku sangat bergantung pada karakteristik prilaku kurang baik yang menjadi kebiasaan anak pada saat itu. mis ; untuk berhenti merokok sudah pasti anak membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang, guru BK harus mengevaluasi terus menerus perkembangan yang dicapai anak, dan memberikan rewards terhadap usaha yang telah dilalui anak. Contoh lain yaitu pada anak yang gemar membolos, guru BK mengajak orang tua agar tidak melulu melindungi sikap membolos anak, orang tua berhak untuk tegas terhadap prilaku kurang baik anak, sebab pilar utama pendidikan berasal dari ke-2 orang tuanya. 

Sebetulnya pada saat kita mengharapkan prilaku anak berubah menjadi lebih baik maka kita terfokus untuk merubah kebiasaan buruknya. dilain sisi karna sudah menjadi kebiasaan maka kita perlu merepair sudut pandang anak agar tidak kekeuh terhadap sikap buruknya dan pengaruh negatif lingkungan diluar sana. ada satu hal yang dapat menjadi indikasi keberhasilan memperbaiki sudut pandang anak, yaitu timbulnya kesadaran mendalam pada diri anak dan alasan mengapa ia ingin merubah prilakunya menjadi lebih baik.

Dengan demikian, penerapan SP sendiri tidak dapat tunggal digunakan untuk memperbaiki prilaku anak karna perlu upaya penyadaran yang dilakukan guru BK agar anak dapat menerima diri sepenuhnya dan memiliki alasan untuk berubah. dengan kata lain, penerapan SP akan menjadi efektif.

Oleh ; Hamdan Rifay, M.Pd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline