Lihat ke Halaman Asli

Fathul Hamdani

Pembelajar

Menilik Implementasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia

Diperbarui: 10 Juni 2020   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kegiatan Pertambangan | apabahar.com

Tulisan ini diinspirasi oleh dua "pesan penting" yang perlu direnungkan dalam buku karya Prof. Jimly Asshiddiqie berjudul "Green Contitution" (Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Pesan pertama, mengingatkan kembali kepada setiap pembaca buku tersebut, bahwa untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang konstitusional.

Pesan kedua, terkait dengan puisi karya Christopher D. Stone yang dikutip lagi di bawah ini: 

"...we'll be sued by lakes and hills
Seeking a redness of ills
Great Mountain peaks of name prestigious
Will suddenly become litigious
Our brooks will babble in the courts, seeking damages for
How can I rest beneath a Tree if it may soon be suing me?

(Secara harafiah Puisi itu mengingatkan siapa saja, bahwa suatu waktu nanti, Danau, Sungai, Gunung atau bahkan jika sekedar duduk di bawah rindangnya pohon sekalipun, manusia akan dapat dituntut di Pengadilan atas dasar kenikmatan yang diperoleh atau karena kerusakan yang terjadi).

Melalui kedua pesan Asshiddiqie tersebut tidak berlebihan kiranya untuk kemudian ditarik sebagai kerangka pemikiran awal dalam upaya merespon isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup, karena respon terhadap isu lingkungan hidup seringkali menghasilkan perdebatan pendapat ketimbang penyelesaian.
Perdebatan yang masih relevan sampai saat ini misalnya, masih belum terang status peristiwa Lumpur Lapindo, apakah termasuk dalam tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau sekedar kesalahan teknis pekerjaan. 

Padahal dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut tidak hanya persoalan kehilangan harta, namun juga kehilangan identitas, sebagai pemilik asal-usul dan budaya.  Kemudian begitupula terhadap pencemaran air di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi, dan baru-baru ini di pertengahan bulan September 2019, kebakaran hutan di Riau. 

Ketiga contoh tersebut merupakan gambaran dari lingkungan hidup yang telah tercemar dan rusak berat, karena sebelumnya lingkungan hidup tersebut menyediakan berbagai kebutuhan pokok seperti air, udara dan tanah.
Hal ini menjadi relevan untuk dicermati karena lingkungan hidup yang tercemar dan rusak berat tersebut merupakan wilayah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur keberadaan sebuah Negara. 

Oleh sebab itu tepat kiranya mempertanyakan jaminan Negara terhadap tersedianya hak dan Hak Asasi Manusia atas lingkungan hidup, kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah mempertanyakan mekanisme penyelesaian sengketa terhadap lingkungan hidup tentunya dengan mengupayakan pendekatan hukum yang lebih berkeadilan, dengan pertimbangan kronisnya penegakan hukum saat ini, karena 13 perusahaan besar yang terindikasi melakukan pembalakan liar (destructive logging) di Riau telah mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari POLDA Riau (http://elgibrany.blogsome.com/ 2009/02/05/hak-atas-lingkungan-hidup-masih-di-langit/trackback/).

Dua pertanyaan tersebut sekiranya ditujukan untuk melakukan sebuah telaah dengan menggunakan suatu pendekatan analisis yuridis terkait Hak Asasi Manusia atas Lingkungan Hidup. Analisis yuridis ini turut menggunakan penafsiran hukum.

HAM atas Lingkungan Hidup

A. Isu Lingkungan Hidup di dalam Perkembangan Hak Asasi Manusia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline