Lihat ke Halaman Asli

Fathul Hamdani

Pembelajar

Perlukah Aliran Kepercayaan Disetarakan dengan Agama?

Diperbarui: 30 Juni 2020   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TEMPO/Johannes P. Christo

Sejak negara turut campur mendefinisikan agama dan kepercayaan dalam peraturan perundang-undangan, yakni pada tahun 1961 Departemen Agama (Kementerian Agama) merumuskan kriteria yang bisa disebut sebagai agama. 

Unsur-unsur agama menurut Depag, diantaranya Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Kriteria ini yang membuat pengenut kepercayaan terlempar dari makna agama. 

Data dari Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, total ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia yang terdata oleh pemerintah. Terbanyak, kelompok penghayat kepercayaan berada di Jawa Tengah dengan 53 kelompok.

Keberadaan Pancasila sebagai philosophical groundslag bangsa Indonesia yang kemudian menempatkan konsep ketuhanan pada tataran tertinggi dan dengan melihat rumusan di dalam UUD NRI Tahun 1945 tentang hak-hak asasi manusia sebagaimana Pasal 28 E Ayat 1 dan 2  menyatakan adanya kebebasan untuk memeluk agama dan kebebasan untuk meyakini kepercayaan. 

Lebih jauh dalam pasal 28 I Ayat 1 dan 2 juga menyatakan keberadaan dan pengakuan akan hak kemerdekaan pikiran, hati nurani dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif yang sejatinya harus dilindungi oleh negara. Sehingga secara terang dan jelas telah diatur dalam konstitusi akan pengakuan terhadap agama dan kepercayaan. Lantas mengapa agama dan kepercayaan perlu disetarakan?

Mengikuti General Comment Nomor 22 (diterima dalam Sidang Umum ke-48 PBB, 1993) yang memberi petunjuk resmi penafsiran ICCPR, maka hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama itu harus dipahami secara luas dan komprehensif. 

Sebagaimana rumusan pasal 18 (1) ICCPR yakni untuk melindungi semua sistem  keyakinan. Istilah agama maupun kepercayan tidak saja mencakup agama-agama tradisional, agama-agama yang memiliki institusi, tetapi juga agama-agama baru, atau non-institusional. Agama atau kepercayaan dalam pasal 18 mencakup perlindungan terhadap apa yang disebut kepercayaan-kepercayaan teistik (theistic).

Walaupun secara normatif telah diatur sedemikian rupa pengakuan akan hak-hak terhadap aliran kepercayaan, namun sekali lagi antara das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (fakta yang ada) masih belum sesuai. 

Jika dilihat dalam UU No. 24 Th 2013 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 (1) berkaitan dengan KTP-el misalnya, dimuat elemen berkaitan dengan data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el. 

Adapun pada ayat (5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline