Lihat ke Halaman Asli

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Pembaca yang dimuliakan oleh Allahta’ala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika seorang hamba dijauhkan oleh Allahta’aladari siksa api neraka dan ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allahta’alaberfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia melainkan kehidupan yang menipu.” (QS. ‘Ali Imran : 185) Syaikh As Sa’diyrahimahullahmengatakan, “Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan belum pernah terlintas di dalam hati manusia.”[1]Demikianlah seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.

Tauhid, Kunci Kebahagiaan Manusia

Setelah kita mengetahui bahwa kabahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat, yaitu ketika manusia menikmati kenikmatan surga, sudah selayaknya kita memahami apa sarana yang dapat menghantarkan seseorang menuju surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.

Saudaraku, ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan tersebut adalahtauhid, menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allahta’alasemata. Barangsiapa yang dapat merealisasikan tauhid dalam seluruh perjalanan hidupnya, dan menjauhi kesyirikan maka sungguh dia adalah orang yang memperoleh kemenangan yang besar.

Allahta’alaberfirman (yang artinya),“Yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan kedzoliman (kesyirikan[2]), mereka lah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapatkan petunjuk” (Al An’am:82)

Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada shahabat Muadz bin Jabalradhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah hendaklah mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun, danhak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan[3]

Syaikh As Sa’diyrahimahullahmenjelaskan bahwa diantara keutamaan orang yang merealisasikan tauhid adalah terbebasnya ahli tauhid dari kekekalan siksa neraka, bisa jadi orang tersebut disiksa di neraka untuk menghapus dosa-dosanya, namun tidak selama-lamanya. Tetapi jika ahli tauhid mampu merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya, maka niscaya Allahta’alaakan menjaga dirinya dari siksa api neraka secara sempurna.[4]

Kesempurnaan tauhid yang terpateri dalam hati seorang ahli tauhid akan memerdekakannya dari penghambaan diri dan ketergantungan hati kepada makhluk, akan membebaskan diri dari rasa takut dan berharap kepada makhluk. Inilah hakikat dari kemuliaan seorang manusia.[5]Hanyalah kepada Allah, seorang ahli tauhid akan menghambakan diri dan menggantungkan hatinya.

[Hakikat Merealisasikan Tauhid]

Seorang hamba yang merealisasikan tauhid maknanya adalah mensucikan diri dari segala cabang-cabang kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan.[6]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaiminrahimahullahumenjelaskan secara ringkas bahwa makna ‘merealisasikan tauhid’ adalah membersihkan diri dari noda-noda kesyirikan. Ini tidak akan pernah terwujud dalam diri hamba melaikan terpenuhi tiga perkara:Al Ilmu(mengetahui makna tauhid),AlI’tiqod(meyakini kandungan tauhid) danAl Inqiyad(tunduk terhadap konsekuensi-konsekuensi tauhid).[7]Jika ketiga hal tadi telah terwujud dan terbukti secara nyata pada seseorang (secara umum) maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan bagi dirinya.

[Lihatlah Balasan bagi Sang Perealisasi Tauhid]

Saudaraku, diantara balasan orang yang merealisasikan tauhid adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-mengatakan,Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, dalam hadits yang panjang:

“Telah diperlihatkan kepada diriku umat-umat manusia. Aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa orang dan bersamanya satu dan dua orang, serta seorang Nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepada diriku sekelompok manusia yang berjumlah banyak, dan aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya’. Lalu tiba-tiba aku melihat sekelompok manusia yang banyak pula. Kemudian dikatakan kepadaku ini adalah umatmu,dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab”.

Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi wa sallambangkit dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka para shahabat mulai membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang menjadi shahabat Rasulullah’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan’. Dan ada di antara mereka yang menyebutkan kemungkinan lainnya. Maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamkeluar dan menemui mereka dan menjelaskan, “Mereka adalah orang-orang tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati dengan carakai(menempel luka dengan besi panas), tidak melakukantathayur, dan mereka adalah orang-orang yang bertawakal kepada Rabb mereka(HR.Bukhari 5705, 6541 dan Muslim 220)

[MaknaIstirqa’ (Meminta untuk Diruqyah oleh Orang Lain)]

Ruqyahadalah bacaan-bacaan tertentu untuk perlindungan yang dibacakan kepada seseorang yang menderita penyakit, semisal penyakit demam, penyakit ayan dan penyakit yang lainnya.[8]Pada asalnya,ruqyahadalah sebagaimana cara pengobatan pada umumnya. Ada beberapa syarat yang harus ada agarruqyahtersebut tergolongruqyahyang disyariatkan.

Diantara syarat-syaratruqyahyang disyari’atkan adalah: [1] Tidak meyakini bahwaruqyahtersebut mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tanpa izin dari Allahta’ala. [2] Tidak mengandung kata-kata yang menyelisihi syariat, semisal lafadz-lafadz doa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada jin dan yang semisalnya. [3] Lafadz-lafadzruqyahhendaklah dapat dipahami maknanya.[9]

Adapun ruqyah yang tidak memenuhi syarat di atas, maka merupakan ruqyah yang terlarang, bisa menjadi sarana kesyirikan atau bahkan bisa termasuk ke dalam syirik besar.

Ibnul Qayyim, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahumallahu, menjelaskan bahwa yang terlarang adalah meminta untuk diruqyah oleh orang lain. Karena pada diri orang yang meminta diruqyah, terdapat kecondongan dan penyandaran hati kepada selain Allahta’ala.Adapun jika kita meruqyah orang lain, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan makruh ini.[10]Sebagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallampernah meruqyah[11]diri beliau sendiri, demikian pula Malaikat Jibril pernah meruqyah beliau[12], demikian pula para shahabat juga pernah meruqyah.[13]

[Makna PengobatanKai]

Pengobatankaiadalah pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka dengan tujuan agar darah yang keluar dari luka cepat mengering dan berhenti.

Ibnul Atsirrahimahullahumembawakan pendapat bahwa hukum pengobatankaiadalah terlarang jika digunakan sebagai media pencegahan penyakit, namun hukumnya mubah ketika ada kebutuhan.[14]Hanya saja, seseorang yang tidak meminta diobati dengan carakai, menunjukkan adanya kesempurnaan tawakal kepada Allahta’ala.

[MaknaTathayur]

Ibnu Atsirrahimahullahudalam kitabnyaAn Nihayahmenjelaskan,tathayuradalah merasa sial terhadap sesuatu, yang karenanya dia membatalkan niat untuk melakukan aktivitasnya.[15]Tathayurdiambil dari kata ‘thairun’(Indonesia: burung), karena orang arab biasa beranggapan sial atau merasa beruntung dengan mengaitkannya dengan burung. Ketika hendak safar, dalam rangka ‘penunjuk jalan’, mereka menggertak burung, jika burung terbang ke arah kanan maka mereka meneruskan perjalanannya , tetapi jika burung ke arah kiri, maka mereka membatalkan perjalanan mereka.[16]

Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,“Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakalnya”[17](Thiyarah -dalam bahasa arab- adalah bentuk jamak daritathayur)

Tathayuradalah perkara yangterlarang dalam agama Islam, karenatathayurmenyebabkan berkurangnya kemurnian tauhid seseorang. Seseorang yang melakukantathayurmaka dia telah bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada selain Allahta’ala, dan dia telah melakukan sebab yang pada hakikatnya tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali dengan keinginannya.[18]

[Tawakkal hanya kepada Allahta'alaSemata]

Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan bahwa sifat yang terakhir dari orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa  azdab adalah bertawakal kepada Allahta’ala.Inilah pangkal dari segalanya. Tawakal adalah penyandaran hati dengan sebenarnya kepada Allahta’aladalam mewujudkan kebaikan dan dalam menangkal bahaya, dengan diiringi usaha-usha yang diijinkan dalam syari’at Islam.

Sebab utama yang menghantarkan seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, adalah adanya kesempurnaan tauhid pada dirinya. Karena kesempurnaan tauhid dan penyandaran hati kepada Allah itulah, mereka enggan untuk memintaruqyah,meminta di-kaykepada orang lain, karena pada hakikatnya perbuatan semacam itu sangat besar kemungkinan hilangnya tawakal kepada Allahta’aladalam dirinya.

Allahta’alaberfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”(Ath Tholaq : 3).

[Tawakkal pun Membutuhkan Usaha]

Bukanlah maksud hadits di atas, seseorang tidak perlu berusaha dalam mewujudkan keinginannya, hanya berpangku tangan menunggu pertolongan Allah datang. Syaikh Ibnu ‘Utsaiminrahimahullahumenjelaskan[19]bahwa, tawakal harus memenuhi dua hal, yaitu [1] Penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allahta’ala,[2] Melakukan sebab-sebab yang diijinkan dalam syari’at.

Kedua hal tersebut harus beriringan, tidak boleh seseorang bersandar kepada Allah tanpa ada usaha sedikit pun, atau melakukan usaha tanpa menyandarkan hati kepada Allahta’ala.Ibnul Qayyimrahimahullahumengatakan, ”Barang siapa yang meniadakan sebab dalam usahanya, maka hal ini menunjukkan kecacatan tawakalnya, barang siapa yang tidak berusaha maka hanya akan menjadikan harapannya sebatas angan-angan semata.”[20]

Semoga Allahta’alamenjadikan kita sebagai bagian dari barisanmuwahhidin(ahli tauhid), yang mendapatkan janji dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammasuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Amiin.

Penulis: Hanif Nur Fauzi

Artikelwww.muslim.or.id

[1]Taisir Karimirrahman, hal. 159, Cetakan Maktabah Ar Rusyd.

[2]Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhari no. 3360 dan Muslim no.124

[3]HR. Bukhori, no.2856

[4]Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.57.

[5]Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.60.

[6]Fathul Majiid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 75.

[7]Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hal. 91.

[8]An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah

[9]Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 187

[10]Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Maktabah Syamilah

[11]HR. Bukhari, Kitab At Thibi, Bab Ruqyatun Nabiy, no. 5744

[12]HR. Muslim, Kitab As Salam, Bab At Thibi wal Marodhi war Ruqa, no. 5828

[13]HR. Bukhari, no. 2276, 5007

[14]An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah

[15]An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah

[16]Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 1, hal. 559

[17]HR. Abu Dawud, no 3912, di shahihkan oleh Syaikh Al Albani

[18]Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,jilid 1,  hal. 560

[19]Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 2, hal. 8.

[20]Al Fawa’id, Hakikat At Tawakul wa Darajatuhu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,  cet. Maktabah Ar Rusyd, hal. 139.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline