Lihat ke Halaman Asli

SPK (Sekolah Politik Kerakyatan) PAN, Untuk Apa?

Diperbarui: 6 November 2015   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok. SPK PAN | Logo SPK PAN Angkatan Pertama"][/caption]Dzulkifli Hasan, dalam acara launching Sekolah Politik Kerakyatan (SPK) PAN sangat mengapresiasi mahasiswa yang mau menggabungkan diri dalam sekolah tersebut.  Mengapa sekolah ini didirikan? Apa tujuannya? Dan mengapa dia sangat mengapresiasi para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas dan bergabung dalam SPK tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, sebagai pemakluman bahwa tulisan ini bukanlah sebuah tulisan yang bersifat aktual melainkan sebuah refleksi terhadap suatu peristiwa faktual. Kalau dalam istilah Hernowo, tulisan ini dinamakan dengan “mengikat makna” yaitu menuliskan inspirasi, gagasan atau ide-ide yang muncul dalam benak setelah membaca buku maupun kitab agung alam semesta. Biasanya tatkala membaca kita diserang banyak ide dan gagasan-gagasan atau secara umum makna-makna menghampiri kita. Makna-makna tersebut kemudian kita ikat dengan menuliskannya. Dan makna, salah satu sifatnya, adalah tidak terikat dengan ruang dan waktu. Peristiwa atau fenomena-fenomena hanyalah salah satu diantara tanda (ayat) atau penampakan dari makna-makna yang ada dibalik fenomena. Seperti penyakit yang menampakkan diri dalam bentuk demam, batuk, panas, pilek dll. Begitu pula dengan peristiwa-peristiwa lainya, selalu terdapat makna dibaliknya.

Nah, dalam acara Launching SPK PAN, Sabtu, 31 Oktober 2015, Dzulkifli Hasan menegaskan dalam pembicaraannya bahwa “Sejarah itu berulang”. Sejarah merupakan suatu peristiwa faktual, karena kalau tidak faktual, bukan sejarah namanya, melainkan cerita fiktif. Unsur sejarah yang lain adalah penting dan bernilai, sehingga perlu untuk didokumentasikan. Oleh karena itu setiap peristiwa yang terjadi dan tidak penting atau tidak bernilai, maka tidak akan dimasukkan dalam kitab sejarah. Sejarah berisi  peristiwa-peristwa yang faktual, penting dan bernilai. Selain unsur-unsur diatas, satu hal yang  menjadi ciri mutlak sejarah adalah terjadi pada masa lalu atau telah lewat. Oleh sebab itu apa yang terjadi pada saat ini dan masa yang akan datang tidaklah tergolong dalam kategori sejarah.  Sejarah juga tidak pernah terlepas dari ruang lingkup waktu, tempat dan peristiwa. Peristiwa terdiri dari subjek, objek dan interaksi sehingga melahirkan suatu peristiwa. Itulah sejarah yang ingsun pahami.

Nah, sekarang, menurut Dzulkifli, bahwa “sejarah itu berulang”. Itu berarti peristiwa-peristiwa penting dan bernilai yang terjadi pada masa lampau akan terulang lagi. Tetapi menurut hukum logika mustahil terulang dalam waktu, tempat dan subjek-objek yang sama. Karena waktu, tempat dan subjek-objek itu mengalir. Ibarat Anda mencelupkan kaki Anda ke dalam sungai. Air yang membasahi kaki tersebut bukanlah air yang sama tatkala menceburkan kakimu pertama kalinya, melainkan air baru yang terus mengalir, berubah dan selalu baru. Begitupula dengan sejarah, waktu dan tempat selalu berpindah, subjek-objek selalu berganti dan diperankan oleh subjek-objek yang baru pula.  Yang kekal dan tetap hanyalah struktur atau pola peristiwa tersebut yang ada dibalik penampakkan. Peristiwa hanyalah sebuah “tanda” atau sebuah perwujudan dari makna. Oleh sebab itu, yang berulang itu bukanlah waktu, tempat dan subjek-objek tertentu, melainkan pola atau struktur dari suatu peristiwa yang sudah terjadi dalam masa lampau, saat ini dan pada masa yang akan datang.

Dalam acara launching tersebut, Dzulkifli mengingatkan para mahasiswa tentang suatu peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1998 yaitu reformasi. Dzulkifli melanjutkan bahwa “Sejarah itu berulang” dan “mahasiswa adalah tonggak sejarah”. Seperti yang terjadi dalam peristiwa reformasi, yaitu digerakkan oleh mahasiswa. Dzulkifli berharap kepada para mahasiswa SPK khususnya untuk menuntaskan reformasi yang telah dibangun oleh mahasiswa tempo dulu. Dalam peristiwa reformasi tersebut mahasiswa sebagai subjek yang sangat berperan. Oleh karena itulah Dzulkifli sangat mengharapkan mahasiswa saat ini agar bisa menjadi tonggak sejarah, menempatkan diri sebagai subjek seperti yang terjadi dalam tempo dulu. Menuntaskan cita-cita reformasi. Itulah sebabnya Dzulkifli sangat mengapresiasi mahasiswa karena mau meluangkan waktu untuk berproses dalam SPK.

Nah berdasarkan peristiwa serta cita-cita dari reformasi tersebut –yang dalam pandangan Dzulkifli masih terjadi deviasi atau penyimpangan–, dibentuklah Sekolah Politik Kerakyatan dalam rangka meluruskan cita-cita reformasi yaitu demokrasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh pemilik modal, biasanya sih disebut serangan Fajar, padahal Fajar lagi tidur di rumah, kasihan Fajar selalu jadi terduga dalam setiap pemilu). Sebab, salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi dalam pentas politik kita –menurut Dzulkifli– seperti NPWP (Nomor Piro, Wani Piro). Inilah yang menjadi salah satu target dibentuknya SPK yaitu untuk meluruskan demokrasi yang masih digrogoti deviasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline