Pagi-pagi sudah Kemal berangkat menuju kampus. Tumben ia pergi begitu cepat. Ibunya meraba-raba alasan anaknya yang hanya satu-satunya. Kemal Mansour kerap bertingkah aneh, tetangga-tetangganya selalu membicarakannya kala ia bergegas. "Anak aneh.. Zaman modernis kok pikiran konservatif. Nikmatnya pagi itu berleha-leha menikmati kopi sambil duduk di atas kursi malas.. Ia malah bergegas-gegas berkeringat. Aduh nian anak zaman sekarang! Apa pentingnya pergi ke kampus, toh ia cuma dapat ketidakpercayaan pengajar-pengajarnya..", celetuk lisan kerumunan ibu-ibu desa.
Kemal tinggal di desa yang amat konservatif. Bagi dia, celetukan pagi ibu-ibu sudah jadi sarapan sehari-hari. Layaknya kopi tersaji di atas meja beranda dan ia nikmati dengan amat khusyuk. Seruput-seruput berisi pelecut hidup seringkali mewarnainya pagi-pagi. Kopinya bukan berasal dari Robusta, Gayo ataupun kotoran Luwak. Kopi Celetuk Ibu-ibu Desa rasanya bisa saja lebih pahit apabila tak ia tambahkan secara seimbang gula-gula ketulian dan keyakinan. Ketulian Kemal bukan tak mendengar seperti para penguasa. Telinga Kemal mendengar santai kekicauan heboh ibu-ibu, yang mengalahkan seantero burung-burung. Tulinya Kemal hanya tak mau menanggapi, ia akan membuktikannya suatu waktu nanti. Apalah yang ia kerjakan tak perlu mendapat pengakuan di saat ini. "Sudah-sudah Kemal, ibu-ibu itu pasti akan mengetahuinya. Tenang-tenang..", nuraninya mencegah ia marah.
Kemal tak berkesudahan memikirkan tentang bagaimana desanya yang sudah mulai berubah drastis. Anak-anak di desa akan diganjari ibu jari kala sudah mendapat duit ratusan juta. Orangtua-orangtua tak memikirkan begitu jauh darimana duit itu berasal. Togel buntut, lotre, sabung ayam sudah jadi cara berpencaharian. Mereka mengakui dan berujar seolah percaya diri, "Kamu memang anakku! Segera cari duit lagi dengan cara apa saja!". Kemal tak mau menjuluki orang-orang desa sebagai kaum kebendaan yang orang moderen mengistilahkannya "materialistik". Kemal memang butuh duit. Duit yang Kemal harapkan berasal dari upaya berkeringat dengan mengikuti jalan kakeknya, Abah Amang. Abah Amang merupakan aktor dari sebuah cerita 16 tahun lampau. Abah Amang, kakek genealogis dari Kemal. Kemal adalah keturunan ketiga. Abah Amang memanglah tak berstudi tinggi. Ia hanya makan kursi Sekolah Rakyat. Studi tak tinggi, budi pekerti tak boleh lebih rendah dari telapak kaki. Kakek tua itu meski sudah uzur, prinsip tetaplah prinsip. Soal prinsip, Abah Amang pernah menempeleng orang yang mengajaknya togel buntut.
"Abah, saya punya kabar baik. Desa kita akan dapat rejeki nomplok cuma-cuma..", tukas Karso.
"Memangnya ada apa, So? Desa kita sudah berejeki dari dulu. Wong Tuhan sudah beri kita hamparan laut dan sungai yang mengalir. Itu bukannya sudah cukup untuk kita berlaut dan memiliki tambak ikan?"
"Zaman tipe begitu sudah ketinggalan. Saat ini butuh yang singkat dan cepat! Tenang, Bah ini bukan babi ngepet.."
"Lantas kemudian apa?"
"Togel buntut! Kemarin saja Paijo dapat 5 juta karena menang buntut, Bah! Dia cerita dari kuburan Mbah Wasiyem, dia mendapat wangsit. 3 hari 3 malam dia tidur disana.. Mau ikut, Abah?"
PLAK! Tangan kanan Abah Amang mendarat di pipi Karso. "Aduh, Bah. Ada apa, Bah?"
"Kamu itu berpikir dengan cara bagaimana, So? Togel buntut, togel buntut! Buntut, endhasmu!"
"Abah ini kenapa toh? Diajak kaya kok malah tidak mau.."