[caption id="attachment_240555" align="aligncenter" width="470" caption="Ibu pedagang asongan di stasiun Cirebon Parujakan"][/caption] Satu kesempatan hidup yang jangan pernah disia-siakan. Untuk kegembiraan fana tanpa manfaat sedikitpun, harus diperlakukan sekadarnya saja. Sebagai manusia yang benar-benar hidup dan melak akan keadaan sekitar, tak perlu sumringah ataupun terlalu bangga akan kemewahan hidup kita saat sekarang. Kemewahan itu adalah jalan panjang bagi orang-orang yang kesusahan di luar sana. Atau barangkali buat kita kemewahan itu dekat jalannya. Ah, tapi itu tidak jelas kapan kita dapatkan segala-galanya. Kemewahan itu sesuatu yang semu. Yang semua orang bisa saja gapai jika mereka menengadah dan memperlakukan dirinya atas nama Tuhan. Semoga Gusti Allah menganugerahi mereka yang berusaha. Usaha manusia menemui jarak tempuh yang berbeda. Tergantung oleh kepribadian manusia yang menjalankannya. Bisa saja terlelahkan atas perjalanannya itu atau gembira setiap saat, kapanpun ia bisa dan perlu untuk melanjutkannya. Tetapi, terkadang usaha manusia menemui tantangan yang berbeda pula. Tantangan atas kepribadiannya sendiri ataukah dari pihak luar yang perlahan-lahan melemahkan daya semangat kerja dan untuk tetap berusaha dalam melanjutkan perjalanannya itu. Bagaimanapun semua memiliki peluang apakah sang manusia tetap melanjutkan perjalanan dengan kepastian ia akan terperosok ke dalam lubang dan entah bagaimana selanjutnya. Berusaha atau berpasrah dengan keadaan. Sebuah peristiwa takkan pernah mungkin kita perhatikan. Ini tentang hubungan kausalitas antarmanusia. Jika saja Gusti Allah tak menurunkan manusia ke dalam Bumi, pasti takkan ada saling menjatuhkan, saling berperang, saling beradu pendapat, superioritas dan inferioritas. Meskipun pernah ada dialog antara malaikat dengan Gusti Allah di nirwana sana. Malaikat hampir-hampir tak percaya dengan manusia yang masa depannya akan merusak dimana-mana. Tapi, telunjuk Gusti Allah mendekat dan mendiamkan malaikat yang berbicara itu. "Biarkan Aku yang tahu masa depan mereka.., Kalian tetaplah mengawasi mereka itu..". Malaikat tertunduk diam. Tabiatnya tetap pada makhluk Allah yang suci. Berbeda dengan iblis yang secara fundamental menolak besar-besaran manusia Adam yang telah diciptakan. Iblis merasa dirinya superior, berhak tidak sepakat dengan Adam yang hina. Dia berkata bahwa tasalsulnya lebih unggul ketimbang makhluk dari lumpur itu. Gusti Allah menekankan, "Kalau begitu, tibalah masanya kau dan umatmu menjadi golongan yang akan Aku tolak selama-lamanya. Bicaralah pada malaikat untuk setidaknya kau berbagi cerita dengannya..". Iblis tak mengamini apa yang dikatakan Gusti Allah dan berikrar sehidup semati untuk melakukan penolakan dan perlawanan besar-besaran pada makhluk lumpur hingga akhir masa. Nirwana yang bersih, suci dan segala-gala tergambarkan keriuhan yang tegang antara Gusti Allah dengan para makhluk ciptaan-Nya. Bagaimana sesudahnya di seisi Bumi ini? Gambaran imajiner malaikat tentu saja benar, karena ia ciptaan suci dari cahaya. Meski pada akhirnya ia taat dan diam pada Allah untuk mendegarkan pernyataan-Nya. Di Bumi, tentu lebih seram dan kejam. Jika saja kita lihat bahwa benar lumpur-lumpur itu terlihat tabiat aslinya. Sama-sama berada pada tingkatan rendah menurut anggapan iblis tetapi mereka saling menjatuhkan untuk merendah-rendahkan. Entah itu dari dalam diri manusia atau ada stimulus dari iblis yang memprovokasi mereka. Tepatnya, gambaran dunia adalah gambaran dialog nirwana. Tatanan kehidupan sosial saat ini tidak terelakkan lagi. Muncul diversifikasi juga muncul diskriminasi. Cirebon adalah contoh dimana segala-galanya telah berevolusi. Dari sekumpulan desa yang dahulu tenang, kini berganti menjadi metropolis yang tidak tanggung-tanggung menyimpan gundukan permasalahan segudang. Dari pengamatan, saya tampak kecewa perihal kondisi sosial yang tampak. Membanggakan daerah tetap harus ada dalam hati seorang anak pribumi sana. Tetapi, jangan sampai larut dan terlena dengan apa-apa yang membuat kita bahagia. Bahagia punya perspektif yang berbeda. Ibarat jurang yang dalam dan tempat kita berpijak yang tinggi di atas aspal. Saya masih mengingat betul bahwa kota ini penuh dengan warna-warni sosial. Dahulu bisa jadi saya tidak memperhatikannya, karena permasalahan itu sangat biasa dan normatif. Seiring perkembangan masa, ternyata itu semakin terlihat diskriminatifnya. Toko-toko bersejarah kini dihancurkan menjadi gedung swalayan. Jalanan semakin riuh tanpa mengelak lagi dari kemacetan. Hiburan-hiburan yang menghalangi produktivitas pemuda bertengger kian jamak. Tak ada lagi jalan Kartini yang seringkali dihiasi warna hijau dari religiusnya keagamaan. Surau besar tak ramai lagi, hanya sebagai tempat bersinggah bukan lagi tempat untuk menengadah dan ibadah. Sebenarnya tak mengapa, tapi aura religius perlahan kelam di ufuk mata dan terdengar di telinga. Serba-serbi kehidupan siapa yang bisa mencegah jika memang itu sudah menjadi jalannya. Bukan berarti kita pasrah, tapi kita tidak punya tangan untuk mencegahnya barang sedikitpun. Bagi siapa saja suatu saat nanti isilah kursi-kursi tanpa tuan untuk menjadi bagian pengambil kebijakan. Kebijakan yang tentu bersandar atas kepentingan kalangan banyak. Kalangan banyak yang mengharap pembuktian bukan kata-kata khayalan. Contoh kebijakan yang mengerikan dan membuat hati ini pecah mengharu. "Tahun 2012, Pedagang Asongan dilarang berjualan di sekitar stasiun Kereta Api". Secara pribadi, saya terhujam dan melihat sebuah contoh kebijakan yang menimbulkan mata ini pedih. Pedih karena ini mengandung status disintegratif. Mengundang siapa saja memunculkan pendapat. Birokrat sana mengatakan bahwa keputusan itu berdasarkan sugesti dari para penumpang yang banyak merasa bermasalah dengan hadirnya pedagang asongan. Ditambah dengan kabar 'gila' di televisi yang menjatuhkan. Televisi bahkan berkontribusi menghancurkan citra asongan yang digeneralisasi menjadi biang pencopetan, keracunan, dehigienis makanan dan produk-produk tanpa sertifikasi kesehatan. Lagi-lagi penjebakan semacam ini tidak bisa dibenarkan. Perilaku-perilaku di atas memang kerap terjadi, tapi tidak berlaku untuk semua. Tetapi, saya membayangkan bahwa dahulu tidak bermasalah. Saat ini barang branded menjadi tolok ukur perokonomian. Tanpa brand marketyang baik dan ditebar seluas-luasnya maka perekonomian bisa mandeg. Sayangnya dahulu kita tidak dijejal dengan barang-barangbermerek semacam itu. Sertifikasi kesehatan yang bisa jadi bukan kebijakan barang dagangan, yang bisa ditawar-tawar seperti saat ini. Atau 'mungkin' daya pikir penumpang yang tidak punya daya nostalgia yang mendalam. Belum sampai pada tataran berpikir tentang kausalitas antara dirinya dengan pedagang asongan. Wahai birokrat-birokrat yang mulia yang berpikir cerdas dan pengkhayal manfaat, hadirkanlah sekian banyak permasalahan-permasalahan di luar tanganmu itu. Menurut saya, asongan adalah pendukung kebahagiaan di stasiun. Antara engkau dan asongan adalah pasangan serasi yang seringkali meneguk kemesraan secara bersama-sama. Atau bisa jadi sebagian besar para pegawaimu berorangtuakan pedagang-pedagang asongan. Rahim-rahim itu melahirkan orang-orang yang berkontribusi di perusahaanmu. Jadi, bersikaplah tidak terlalu arogan. Pandanglah kenyataan sekarang, bahwa sekumpulan orang semacam itu berada pada posisi yang kurang diperhatikan. Apalagi dunia manusia sekarang terinfeksi virus 'kemandirian dengan konten individualistis'. Saya yakin engkau pasti sadar. Apa daya pedagang asongan harus menelan getirnya kebijakan petinggi stasiun dengan kroni-kroninya. Darimana lagi kita harus menengadah jika selain kepada Gusti Allah. Masih adakah hati-hati serupa malaikat? Jika ada hadirkanlah dan tempatkanlah ia di dalam gedung pembijak-pembijak stasiun itu. Agar stasiun tidak menjadi tempat sepi. Dari diskusi-diskusi orang kecil. Memang tidak seluruh stasiun memberangus habis para pedagang asongan. Akan tetapi, angin-angin kebijakan birokrat akan berhembus ke seluruh stasiun. Padahal, pedagang asongan adalah kumpulan orang yang mencari rezeki, mencari berkah di stasiun yang ia pijak. Gusti Allah pun tidak melarangnya sama sekali. Akan ada banyak kemungkinan setelahnya, ketika pedagang asongan menggulungkan tikarnya. Pedagang asongan bukan orang-orang berduit banyak sepertimu. Untuk kesehatan tidak sebulan sekali mereka berkonsultasi pada dokter. Biar sakit yang mereka dera hanya diatasi oleh obat-obat warung. Pedagang asongan adalah orangtua-orangtua yang memiliki anak yang sedang bersekolah. Yang berharap tingginya pendidikan yang dienyam anaknya. Berharap masa depan anaknya tidak seperti orangtuanya. Susah-susah mencari kebahagiaan hidup. Mereka mencari biaya lewat pekerjaan ini. Ada yang sambilan untuk mencukupkan atau bahkan dijadikan sebagai pekerjaan utama. Pedagang asongan adalah sekumpulan pemuda-pemudi putus sekolah. Mereka berharap akan menyerap ilmu jika mereka berdagang di atas gerbong. Mereka berkhayal akan bertemu presiden beserta menteri-menterinya untuk sekadar membicarakan pelajaran matematika, sains dan lainnya. Atau bertemu dengan para masinis dan kondektur untuk dimintai pengalaman-pengalaman hidupnya. Sebenarnya akan sangat mengerikan jika sudah terjadi. Maka akan benar yang ditayangkan televisi, bahwa nantinya pencopetan akan semakin marak yang sebenar-benarnya diakibatkan oleh kebijakan disintegratif itu. Atau bahkan akan banyak perlawanan terhadap stasiun. Pelemparan batu pada gerbong kereta yang seyogyanya malah membuat kerugian. Tapi, saya percaya bahwa seorang pedagang asongan tidak memiliki kepribadian yang bringasan dan tak tahu norma. Melainkan mencari kemesraan baru di luar stasiun. Pedagang asongan bukanlah virus yang harus dicegah sedemikian rupa untuk tidak hadir dan hidup di suasana stasiun. Pedagang asongan bukanlah hama yang mesti dibasmi untuk kesejahteraan para petani. Pedagang asongan adalah sesosok dengan dedikasi pekerjaan yang tinggi. Pedagang asongan adalah mereka yang bercita-cita tinggi akan hidupnya. Pedagang asongan adalah korban. Korban kerasnya hidup. Yang lebih harus kita perhatikan lagi adalah bahwa pedagang asongan adalah manusia yang mesti ditunaikan hak hidupnya dan segala-galanya. Manusia adalah kita. Tabiatnya mencari kelayakan hidup. Mungkin bagi para asongan kelayakan hidup adalah kehidupannya saat ini. Sudah berpalang syukur masih diberi kehidupan oleh Gusti Allah. Tidak perlu neko-neko mengganggu birokrat yang sudah aman di kursinya itu. Mereka hanya berdoa agar makanan dan minumannya bisa habis terjual. Sudah itu saja. Dari situ akan diserahkan untuk membiayai kehidupan keluarganya. Sudah memang begitu saja. Di akhir khayalannya, mereka hanya berkata: "Maukah kalian menjadi kami saat ini?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H