Selama bertahun-tahun, saya menghabiskan banyak waktu di jalanan. Entah itu dari rumah ke tempat kerja; atau dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Entah sudah berapa jam waktu terpakai untuk itu. Mungkin kebanyakan orang (termasuk saya dulunya) yang melihat waktu terbuang percuma, apalagi saat menghadapi kemacetan di jalan raya yang seakan tak pernah berakhir.
Untungnya, Samarinda tidak semacet Jakarta, meskipun akhir-akhir ini saya melihat volume kendaraan bermotor semakin banyak memadati jalanan, khususnya di pagi dan sore hari.
Jalan-jalan alternatif menjadi solusi untuk memotong 'kompas'. Jalan tikus, istilahnya. Gang-gang sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor adalah "surga" bagi pengendara sepeda motor dan ojek online.
Saya termasuk salah seorang yang masih menggunakan kendaraan roda dua (dua roda lainnya sebagai pelengkap mobil masih di dealer) yang, mau tidak mau, menggunakan akal untuk mencari jalan keluar alternatif saat bertemu kemacetan.
Kebanyakan dari rumah-rumah di gang-gang sempit tersebut adalah rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan terlihat berusia tua. Ada ibu-ibu yang berusia lanjut sedang menyapu pekarangan di depan rumah. Rumahnya terlihat bernuansa lawas, tapi tetap terlihat kokoh sampai saat ini.
Banyak hal menarik yang terpampang di hadapan mata, tapi ada beberapa yang tak bisa saya lupakan, bahkan membuat saya bermenung dalam perjalanan.
Yang paling saya ingat adalah saya melihat seorang laki-laki dengan perkiraan usia mungkin berkisar 60-70 tahun atau mungkin kurang atau lebih dari itu.
Bapak ini sudah putih semua rambutnya. Meskipun begitu, rambut beliau tetap tertata rapi dengan kumis yang rapi pula, menambah kewibawaan.
Apa yang salah dengan lelaki lansia ini? Tidak ada yang salah. Hanya saja, saya terkesima, sedih melihat beliau duduk seorang diri di depan rumah sekitar pukul sembilan pagi, saat matahari lumayan panas menyinari kota Samarinda.
Mungkin Anda heran. Apa anehnya? Mengapa saya bersedih melihat bapak tersebut?