Kalau seandainya bisa memilih, saya akan memilih menjadi orang pribumi Indonesia. Tapi Tuhan sudah menetapkan saya sebagai warga negara Indonesia (WNI) keturunan Cina atau yang sekarang dikenal sebagai Tionghoa (meskipun menurut saya, perubahan istilah hanya sekadar "kulit luar", tidak bisa seketika merubah paradigma dan kebiasaan umum).
Panggilan-panggilan yang terkadang menjengkelkan sudah pernah saya alami.
Dimulai dari sejak usia dini, panggilan "tauke" berkumandang. Tentu saja bukan dari sesama Tionghoa, tetapi dari warga pribumi.
Pengertian "tauke" sebenarnya bagus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "tauke" berarti "majikan (yang mempunyai perusahaan dan sebagainya)". Arti yang lain adalah "bos (kepala pekerja dan sebagainya)".
Sayangnya, entah apa telinga saya yang salah mendengar atau pendengaran saya terganggu, bukan pengucapan "tauke" yang saya dengar, tetapi "tokek". What is "tokek"? You know lah apa itu "tokek".
Apalagi kalau anak-anak yang mengatakan. Lebih ke arah "tokek". Selain itu, gestur dan cara mengucapkan pun sudah bisa tertebak mengarah ke kata apa.
Memasuki usia remaja (setingkat SMP dan SMA), kebanyakan orang, khususnya yang berusia lebih tua daripada saya, mereka memanggil saya dengan sebutan "Dik".
Tentu saja, saya sangat tidak keberatan dengan panggilan itu. Sudah sewajarnya mereka menganggap saya sebagai "adik", junior mereka.
Beranjak ke masa kuliah, sematan "Mas" berada di depan nama. Secara pribadi, saya tidak ada masalah dengan itu. Malahan, saya merasa senang. Baru pada fase ini, saya merasa dianggap sebagai warga negara Indonesia asli.
Tapi saya agak penasaran, "Kok sekarang aku dipanggil 'Mas'?" pikir saya dalam hati.