Di sudut taman aku menunggu. Menanti kedatanganmu. Aku hanyalah pengagum rahasia. Mengagumi senyum manis dirimu pada jam tujuh pagi nan sejuk di bawah gazebo ini.
Rambut hitam panjang sampai ke pinggang bagaikan mahkota yang juga memikat hati. Engkau begitu luar biasa bagaikan lukisan indah yang mewujud nyata.
Lidahku kelu. Aku bukan lelaki yang memikat. Aku juga bukan pria yang berpunya. Hanya ada diri yang sederhana dan sepeda motor butut di parkiran.
Engkau suka membaca, aku pun juga suka membaca. Engkau suka menulis di buku, aku pun juga begitu, meskipun aku tak tahu apa yang kau tulis. Kalau aku, aku hanya bisa menulis puisi-puisi receh yang mungkin hanya akan menjadi bahan tertawaan setiap orang.
Pukul sembilan saat sinar matahari mulai menyengat menandai waktu kau harus berlalu. Kau bergegas ke parkiran, mengendarai sepeda motormu, melaju, dan meninggalkanku tanpa mengucapkan apa-apa.
Wajar kalau kau tak mengatakan apa-apa padaku. Kau tidak mengenalku. Satu kali pun aku tak pernah menyapa dan sedikit berbasa-basi untuk mengajak berkenalan.
Aku tak mempunyai keberanian untuk itu. Karena aku sementara ini hanya berani menjadi pengagum rahasiamu.
Samarinda, 1 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H