“Handoko.”
Nama yang sederhana, sesederhana orangnya.
Lelaki paruh baya ini tidak menyebutkan nama panjangnya. Dia cuma menyebutkan “Handoko”. Cuma itu.
Perkenalan ini bermula tanpa direncanakan.
Doni mengisi tangki bensin sepeda motornya di suatu SPBU. Dan dia melihat seorang bapak, yang Doni perkirakan berusia sekitar 40-an, bermain gitar di samping mini market di SPBU tersebut. Mengamen.
Lelaki itu hanya bermain gitar. Permainan gitar tunggalnya begitu memukau. Doni bisa bermain gitar tunggal ala klasik dan fingerstyle. Meskipun sudah sekian lama belajar secara autodidak, dia merasa keterampilannya tidak bertambah maju secara signifikan.
Ikut kursus gitar di lembaga musik menjadi tujuan. Sayang, uang di dompet tidak mendukung.
Entah bapak ini pernah kursus gitar atau tidak. Yang pasti, kemampuan dalam bermain gitar bisa dikategorikan di atas rata-rata. Dan yang menjadi nilai plus dibanding gitaris-gitaris lainnya adalah bapak itu buta!
Sedangkan dengan mata terbuka saja terkadang salah mencet senar. Bapak ini malah menarikan jari-jari kirinya di fingerboard gitar dengan leluasa. Seperti ada banyak mata di jari kiri dan kanannya.
“Sudah lama bapak itu main gitar di sini, Mas?” tanya Doni pada pegawai SPBU yang sedang mengisi tangki motornya.
“Lumayan lama, Mas. Sekitar dua bulanan.”