Gawai bermasalah. Laptop bermain mata. Layar kedap kedip seperti lampu disko. Hape menampilkan bentangan garis hitam berjajar rapi di layar.
Entah sampai kapan mereka berdua bisa menemaniku menulis. Yang pasti, aku harus siap dengan segala kemungkinan. Kalau toh mereka berpulang, aku masih tetap bisa berkarya.
Pulpen dan pensil bisa kembali menemani. Seperti dulu kala. Di saat aku tak punya apa-apa. Untuk makan saja secukupnya dan ala kadarnya. Menoreh buah pikiran di atas kertas putih. Itu yang dahulu kulakukan.
Kalau tuntas, baru aku ke rental. Mengetik di komputer secepat mungkin. Supaya biaya per jam bisa diminimalisir.
Namun sekarang aku berpikir ulang. Sepertinya pulpen menjadi cepat habis tintanya di masa pandemi. Kalau memaksakan diri memakai pulpen, anggaran bisa habis tanpa sisa. Karena tersedot untuk membeli pulpen.
Akhirnya aku kembali ke cinta mula-mula. Pensil yang menjadi awal mula cintaku dalam menulis. Dulu waktu masih berseragam putih abu-abu. Menulis puisi dan menggambar wajah gebetan di atas kertas robekan buku sekolah.
Kemanakah puisi romantis percintaan itu berlabuh? Tentu saja, ke cewek-cewek idaman. Sayang, tak satu pun yang berbalas.
Torehan pensil pengganti gawai dan pulpen. Tak apa. Yang penting, bisa berhemat. Di tengah pandemi saat ini, pengeluaran harus diperketat sebisa mungkin. Demi sehatnya keuangan. Demi tersedianya uang pembeli beras untuk makan sehari-hari.
Menulis. Hobi yang tetap berlangsung sampai kini. Meskipun kondisi tidak menentu, menulis tetap jalan terus. Entah sampai kapan berhenti. Mungkin sampai jari-jari ini tak lagi sanggup "menari". Mungkin sampai jari-jari ini tak mampu lagi menggerakkan pensil, pulpen, atau menekan tombol keyboard gawai.
Sekarang karena gawai dan pulpen dikesampingkan, pensil menjadi andalan.
Tak mengapa. Yang penting aku masih bisa menorehkan ide-ide pikiran. Semoga saja tulisan-tulisan dari kepala seorang manusia biasa ini bisa bermanfaat.