"Liburan" masih berlanjut. Ada anak yang senang, ada yang tidak. Ada yang sudah bosan di rumah saja, ada yang ingin kembali belajar di sekolah.
Terlepas dari beragam perasaan peserta didik, pembelajaran daring terus berjalan. Mau tidak mau, suka tidak suka. Mau bilang apa lagi?
Di kota, tidak semua jaringan internet dalam kondisi bagus. Di desa, tidak semua mendapat fasilitas akses internet.
"Jangankan internet, listrik saja belum masuk di kampung saya," kata Robert (bukan nama sebenarnya), salah seorang teman yang berasal dari Papua.
Di tengah ketidakpastian pendidikan saat ini, orangtua hanya bisa pasrah.
Sekarang mereka, para orangtua, menjalankan tugas utama mereka yang sebenarnya. Sebagai pendidik. Bukan hanya mencukupi sandang, pangan, dan papan sang buah hati.
Sekarang, seperti ada tuntutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan anak akan perlunya memiliki smartphone.
Apakah anak perlu memiliki smartphone?
Kalimat tanya yang menjadi judul artikel ini tebersit di otak saya karena salah seorang kenalan, sebut saja Tina, tidak setuju kalau anak mereka memiliki smartphone, sedangkan suaminya setuju.
"Kita kan kerja. Gak mungkin kalau hape-ku atau punyamu yang ditinggalkan di rumah buat dia belajar. Nanti gimana kalau kerja, hubungi bos dan lain sebagainya?" Boris (nama samaran), sang suami memberi argumen.
"Papa mau kalau Doni malah main game online terus seperti Tio, sepupunya?" Tina memberikan opini bantahan (Doni dan Tio, bukan nama sebenarnya).