Di saat banyak orang menggunakan gawai, aku menggunakan pulpen yang melambai.
Bergerak perlahan, menorehkan tinta di kertas tanpa kegaduhan.
Titik-titik tinta berpadu menjadi garis, tak terasa sudah banyak kata yang rapi berbaris.
Terkadang aku harus mencoret yang tak perlu, mengganti dengan diksi yang lebih bermutu.
Perjuangan menulis dengan pulpen memang lebih bermakna, arti tidak mudah hilang dengan percuma.
Walaupun memang tangan terkadang mati rasa, namun aku tetap rutin menjadwalkan menulis dengan pulpen dalam agenda.
Karena mungkin suatu hari kelak, tangan ini sudah tak berdaya dan tergeletak.
Selagi masih sanggup menarikan pulpen, aku akan terus menulis puisi, artikel, atau cerpen.
Hasilnya nyata, tinta habis tidak dengan percuma.
Satu pulpen menghasilkan dua artikel dan tiga puisi, sungguh ini merupakan pencapaian tersendiri.