Lihat ke Halaman Asli

Hamdali Anton

TERVERIFIKASI

English Teacher

Cerpen | Setumpuk Uang dalam Kubur

Diperbarui: 30 Oktober 2018   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : www.nu.or.id

Tentu saja, Udin merasa dirinya tak berarti. Dia merasa dirinya kecil. Mertua seorang konglomerat, dengan tanah, rumah kontrakan, yang bertebaran dimana-mana, sedangkan dia cuma seorang tukang ojek sederhana, dengan andalan tenaga badan dan sepeda motor yang sudah terbilang lama, Semakin banyak dia membawa penumpang atau mendapat orderan makanan, maka uang yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Jika dia malas-malasan, maka hasilnya pun jadi tak seberapa.

Mempunyai tiga anak bukan perkara mudah. Bukan perkara mudah untuk membesarkan mereka semua. Mereka semua butuh kasih sayang, perhatian dan juga dipenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan, tentu saja harus punya uang yang memadai. Nah, uang inilah yang menjadi masalah. Dia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan ataupun keinginan anak dan istrinya.

Dan sekarang dia diperhadapkan dengan situasi sulit. Anak pertamanya, Januar, ingin menikah. Tentu saja, menikah butuh biaya. Orang bodoh sekalipun tahu, kalau menikah itu butuh biaya yang tidak sedikit. Pertanyaannya sangat sederhana. Darimana uang untuk resepsi pernikahan? Ini menjadi persoalan.

"Bagaimana kalau pinjam dengan Bapak saja?" usul sang istri.

Udin tahu persis bagaimana perangai sang mertua, kalau menyangkut soal uang. Termasuk waktu dia melamar Lina, yang sekarang menjadi istrinya. "Kamu kerja apa?" itu pertanyaan Pak Wagimin. Sewaktu mendengar Udin bekerja di perusahaan batu bara terkemuka di Samarinda, dia pun hanya diam mengangguk. Tapi sebelum pulang, dia berujar, "Mungkin lebih baik kamu minta pinjaman dari kantormu. Uang hasil pinjamanmu untuk buka usaha sendiri. Jangan jadi anak buah terus." Begitu pesannya.

Sayangnya, nasihat itu tidak diindahkan Udin, dan setelah dia di-phk, Udin baru menyadari, kalau mertuanya ada benarnya juga. Rasa nyaman bekerja di perusahaan hanya semu belaka. Dia bekerja di perusahaan orang lain, bukan perusahaannya. Yang kaya orang lain, bukan dirinya. Yang punya aset orang lain, bukan dirinya. Dia cuma anak buah, bukan bos.

Setelah di-phk, Udin sempat pusing tujuh keliling. Apa yang harus dia lakukan?

Modalnya hanya sepeda motor, maka ojeklah yang menjadi mata pencahariannya.

Waktu Udin 'jatuh', barulah Udin melihat kalau mertuanya tidak seperti yang mula-mula.

"Uang Pendaftaran Rosa untuk masuk SMP? Boleh saja, tapi kapan dikembalikan uangnya?" ketus Pak Wagimin, sang mertua yang sudah tak seramah dulu.

"Nanti awal bulan saya kembalikan, Pak," Hampir saja Udin mengomel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline