Saya memandang dengan kasihan pada teman saya yang satu ini. Sebut saja dia Charlie. Kenapa saya kasihan dengan dia? Karena dia merasa bahwa hidupnya hanya sampai pekerjaan ini saja. Hanya sampai satpam.
Bagi saya, tidaklah menggembirakan mendengar salah satu teman pasrah dengan hidupnya karena dia tidak punya impian untuk meraih yang lebih lagi.
"Saya cukup begini saja. Takut gila atau stress kalau tidak tercapai."
"Apa tidak ingin membawa keluarga jalan-jalan ke luar kota, atau ke luar negeri?" tanya saya.
"Pengin sih."
"Apa tidak kepengin punya rumah sendiri?"
"Pengin sih."
"Apa tidak kepengin menghajikan orangtua?"
"Itu jelas sangat kepengin."
"Nah, kalau dengan pendapatan sekarang, apakah bisa mencapai semua itu?" Charlie terdiam. Meskipun diam saja, saya sudah bisa menebak kalau dia menyadari bahwa perkataan "cukup"nya tidak bisa memenuhi semua impiannya. Ketakutan akan tamak harta sangatlah tidak realistis.
Buat apa menyiksa diri sendiri dan juga keluarga dalam kesengsaraan ekonomi? Tentu saja, gila harta tidaklah boleh. Masa tidak memperhatikan orang lain.