Lihat ke Halaman Asli

Halima Maysaroh

TERVERIFIKASI

PNS at SMP PGRI Mako

Dampak Melakukan Sadfishing di Media Sosial

Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi media sosial (shutterstock) via kompas.com 

Di era digital dewasa ini, media sosial telah menjadi platform yang vital dalam kehidupan. Bahkan rasanya dunia maya itu justru menjadi prioritas dan terasa lebih nyata. Banyak orang dekat dijauhkan oleh perangkat digital, sedangkan orang jauh didekatkan oleh perangkat yang sama.

Secara umum, pengguna media sosial dengan jejaring internet atau yang lumrahnya disebut warganet mengunggah apa saja yang ingin dibagikan kepada khalayak maya. Ternyata warganet bukan hanya  mengunggah pencapaian sebagai alat memotivasi orang lain atau flexing sebagai unjuk jati diri, warganet juga mebagikan berbagai kisah pilu nan membiru.

Kisah pilu yang dibagikan warganet bukan hanya kisah pilu sebagai fenomena umum, misalnya membagikan lagu patah hati ketika hati di kondisi tersebut. Tetapi juga kisah pilu yang bahkan amat sangat privasi, misalnya permasalahan rumah tangga, penyakit yang diderita, atau bahkan masalah keuangan pribadi.

Oversharing terkait kesedihan yang berlebihan di media sosial dapat disebut dengan istilah sadfishing. Dilansir dari parapuan.co, istilah sadfishing dipopulerkan pertama kali oleh seorang jurnalis bernama  Rebecca Reid pada tahun 2019 lalu.

Istilah sadfishing sendiri mengarah kepada unggahan-unggahan kesedihan yang sifatnya berlebihan atau oversharing. Dengan frekuensi yang kerap atau dengan unggahan yang tidak dibatasi oleh privasi lagi.

Rasanya unggahan di media sosial yang merujuk pada sadfishing sudah tidak asing lagi. Dari unggahan akun pribadi public figure sampai akun para khayalak yang bukan siapa-siapa banyak dijumpai lini masa yang memuat kesedihan kehidupan.

Pengalaman pribadi saja, tidak jarang dijumpai di beranda media sosial tentang keluhan kehidupan sehari-hari, dari sesepele keluhan udara panas, mati aliran listrik, pasangan yang tidak pengertian, keuangan yang tidak stabil dan lain sebagainya. Bahkan ada satu akun yang memperbaharui status puluhan kali dalam sehari hanya untuk sharing apa-apa yang dilakukan dan dirasakan.

Pernah dijumpai unggahan keluh kesan terkait rumah tangga yang di kolom komentarnya berujung percekcokkan antara pro dan kontra. Sebenarnya oversharing terkait kesedihan atau sadfishing ini tidak cukup membantu mencari jalan keluar.

Disadari bahwa kekuatan mental orang itu berbeda-beda, mungkin saja seseorang yang sedang mengalami hari buruk atau tragedi memilukan akan sedikit mereda lukanya ketika berbagi dengan orang lain. Tetapi berbagi di media sosial yang notabene akan dilihat oleh orang seantero dunia, rasanya tidak cukup bijak. Apalagi jika berbagi berlebihan itu justru mendatangkan konflik baru sebab yang awalnya tidak banyak yang terlibat jadi melibatkan orang-orang lain yang pro maupun kontra.

Kecewa tanpa simpati

Mungkin beberapa orang yang melakukan sadfishing memperoleh kepuasan tersendiri setelah berbagi dan mendapatkan atensi publik atas keprihatinannya. Tetapi sampai kapan itu terjadi? Apakah publik akan selamanya menaruh atensi? Perjalanan media sosial terlalu cepat bergulir. Warganet pun akan bosan dengan cerita yang itu-itu saja. Apalagi begitu banyak suguhan konten menarik dan viral di setiap harinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline