Selepas merayakan Hari Raya Idulfitri yang dibersamai dengan libur panjang, liburan ke pantai adalah tradisi yang sudah sangat lumrah. Apalagi di Pulau Buru tempat saya berdomisili yang berlokasi di gugus kepulauan Provinsi Maluku, pantai merupakan tempat pelepas pelat terfavorit.
Setelah lebaran seperti ini, pantai akan menjadi destinasi yang paling banyak pengunjungnya. Namun, entah agak lain atau bagaimana, saya pribadi kurang menggemari pantai. Mungkin karena pantai bukan pemandangan yang asing lagi, bahkan saya pernah tugas dan tinggal di rumah dinas yang hanya beberapa langkah dari pantai. Setiap malam debur ombak menjadi melodi nina bobok pengantar tidur.
Pantai indah dengan riak ombak lembut, angin sepoi-sepai, nyiur melambai dan pohon cemara menari, sungguh sajian yang sempurna. Duduk-duduk di gazebo tepi pantai atau mandi di tepian, mungkin akan menjadi healing yang manjur.
Tidak diragukan lagi, Pulau Buru memiliki banyak pantai yang dapat dijadikan objek me-refresh penat. Ada pantai Jikumerasa, Pantai Baikolet, Pantai Pasir Putih dan masih banyak lainnya. Tetapi beda orang, beda selera. Saya lebih suka mengunjungi situs-situs sejarah sekalian belajar.
Beruntungnya di Pulau Buru terdapat pantai yang tidak begitu difavoritkan oleh masyarakat tetapi menjadi jejak sejarah yang melekat pada Pulau Buru. Lokasi pantai ini menjorok ke dalam perkampungan, tidak tampak dari jalan raya nasional. Pantai Sanleko yang berlokasi di Desa Marloso, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
Pantai Sanleko kalah pamor karena luasnya yang tidak seberapa. Aksesnya pun harus masuk ke dalam pemukiman warna. Tidak ada fasilitas khusus untuk spot foto seperti di pantai-pantai lainnya. Namun bagi pecinta sejarah seperti saya, pantai ini sangat patut dijadikan tempat merenungkan apa yang pernah terjadi di tanah Buru ini.
Saksi Tahanan Politik Orde Baru Mendarat Menuju Barak
Pulau Buru yang lekat dengan citranya sebagai lokasi pembuangan tahanan politik orde baru mungkin amat sangat menyeramkan. Saya, orang tua saya, kakek saya, sama sekali tidak pernah menjadi saksi sejarah tersebut. Hanya dengan membaca buku dan mengunjungi sisa-sisa situs sejarah, saya dapat mengetahui beberapa kisah.
Dikisahkan dalam sebuah buku karya Hersri Setiawan, mantan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1971. Bukunya berjudul Memoar Pulau Buru, dikisahkan bahwa di Pantai Sanleko inilah para tahan politik turun dari kapal yang membawa mereka berlayar dari Jakarta. Di dalam buku Memoar Pulau Buru ini juga diceritakan bagaimana para tahan politik tersebut berjalan kaki dari Pantai Sanleko menuju barak tempat mereka tinggal di Batalareja (Unit XIV).
Setelah membaca buku karya Hersri Setiawan tersebut, saya menapak tilas pantai yang kurang lebih 14 km saja dari tempat saya tinggal. Pantai yang kurang peminat tetapi berubah menjadi pantai paling saya idolakan. Bahkan saya merasa beruntung dapat menapaki langsung tempat yang menjadi saksi sejarah panjang Pulau Buru.
Di Pantai Sanleko ini layaknya pantai kebanyakan. Memiliki pasir halus, ditumbuhi beberapa pohon cemara, terdapat gazebo untuk berteduh, air pantainya bersih. Kelebihkan yang menjadi daya tarik bagi pecinta situs sejarah adalah cerita di masa lalu dan terdapat monumen bersejarah.