Buka puasa bersama atau bukber biasanya digelar oleh sekelompok orang yang bernaung dalam satu instansi, komunitas, keluarga, alumni sekolah dan lain sebagainya. Bukber biasanya bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi.
Keseharian yang menyita waktu tidak cukup untuk tercurah perhatian pada orang lain, momen bukber inilah yang lumrahnya dijadikan ajang saling perhatian dan berbagi. Namun seiring perkambangan zaman esensi kebersamaan bukber semakin memudar.
Kenikmatan bukber bukan semata-mata terletak pada menu makanan dan minuman yang disantap. Menu makanan dan minuman yang murah meriah di warung lesehan pun akan tetap terasa nikmat seiring kebersamaan yang tercipta.
Bukber hemat tetap nikmat asalkan inti dari momentum kebersamaan itu dapat benar-benar dinikmati. Sadarkah bahwa intisari dari kebersaam saat bukber itu justru sudah berbeda pola yang justru mengurangi nikmat bahkan mengurangi minat untuk mengikuti bukber.
Bukber tidak menjadi ajang pamer
Semahal apapun menu bukber, walau dimasak oleh chef profesional, nikmatnya bukber akan menurun jika momentum kebersamaan itu justru diperuntukan ajang pamer bagi sebagian orang. Apalagi untuk bukber alumni sekolah, biasanya begitu sensitif yang menimbulkan kurangnya nikmat bahkan kurang minat.
Sering lewat di FYP sosial media keluhan ibu-ibu tentang bukber alumni. Ada yang mengatakan insecure untuk turut serta karena bukber dijadikan ajang pamer pencapaian. Bahkan dari cara memanggil pun harus sesuai pencapaian. Misalnya, Pak Dokter, Pak Polisi, Bu Guru, Bu Bidan, Bu Jaksa dan lain-lain sesuai dengan profesi. Sedangkan yang berprofesi sebagai pedagang, ibu rumah tangga, sopir dan lain-lain akan merasa minder. Apa salahnya jika memanggil nama saja. Misalnya Pak Budi, Ibu Ani, Ibu Wati dan lain-lain.
Belum lagi soal pencapaian apa yang dimiliki akan menjadi bahan perbincangan saat bukber. Misalnya soal kenaikan pangkat, soal kendaraan yang dimiliki, soal perumahan elit tepat tinggalnya, dan lain sebagainya. Kalau sudah semacam ini, apapun menunya tidak nikmat lagi.
Walau dengan menu yang murah misalnya mi ayam di warung sekali pun, pasti tetap nikmat setelah lapar seharian. Ditambah lagi kebersamaan yang saling menghargai dan mengasihi. Kebersamaan yang berkualitas dengan tujuan utama mempererat tali silahturahmi.
Bukber tidak sibuk dengan gadget
Zaman mengubah segala sesuatunya. Ponsel yang tak dapat luput dari pandangan dan tangan telah menjadi fenomena yang lumrah. Fenomena ini juga dapat ditemui saat bukber. Susah payah mengumpulkan kawan untuk bukber di sela-sela kesibukan masing-masing, tetapi saat bertemu untuk bukber malah sibuk dengan ponsel masing-masing.
Menu dan momen bukber tak ubahnya seperti berbuka puasa biasanya di rumah. Yang diutamakan masih juga segala sesuatu di dunia maya atau dunia digital yang ada dalam genggaman. Lalu apa gunanya bukber jika demikian? Di mana letak nikmatnya? Bukankah nikmat bukber itu karena kebersamaannya?