Teori neo-realisme, yang diperkenalkan oleh Kenneth Waltz dalam karyanya Theory of International Politics (1979), berfokus pada pemahaman bahwa sistem internasional bersifat anarkis dan bahwa negara-negara bertindak demi keamanan dan kelangsungan hidup mereka. Dalam kerangka ini, negara-negara dianggap sebagai aktor rasional yang berusaha memaksimalkan kekuatan mereka untuk mempertahankan posisi relatif di antara negara-negara lain. Meskipun neo-realisme memberikan kerangka kerja yang penting dalam memahami dinamika politik global, kritik terhadap teori ini semakin meningkat seiring dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh masyarakat internasional saat ini.
- Fokus pada Negara, Lupa Aktor Lain
Salah satu kritik paling mendasar terhadap neo-realisme adalan pandangannya yang terlalu terpusat pada negara sebagai satu-satunya aktor yang relevan dalam hubungan internasional. Neo-realisme sering kali mengabaikan peran aktor non-negara, seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, LSM, dan gerakan sosial transnasional, yang memainkan peran signifikan dalam membentuk politik global. Misalnya, isu-isu seperti perubahan iklim, krisis pengungsi, dan terorisme tidak dapat sepenuhnya dijelaskan hanya melalui perspektif negara sebagai aktor tunggal. Sebaliknya, banyak isu global saat ini memerlukan kolaborasi antara berbagai aktor, termasuk aktor non-negara, untuk menemukan solusi yang efektif. Pandangan ini mencerminkan pergeseran dalam teori hubungan internasional yang lebih menekankan pluralitas aktor, seperti dalam teori konstruktivisme dan liberalisme, yang mengakui pentingnya aktor non-negara dan interaksi di antara mereka.
- Hanya Peduli Kekuatan Militer?
Salah satu kelemahan utama neo-realisme adalah fokus yang berlebihan pada kekuatan militer dan persaingan antarnegara. Teori ini sering kali gagal untuk memberikan penjelasan yang memadai mengenai tantagan global yang tidak berhubungan langsung dengan kekuatan militer, seperti krisis kemanusiaan, perubahan iklim, dan pandemi global. Dalam konteks ini, kerja sama internasional, yang sering kali melibatkan aktor non-negara dan lembaga internasional, memainkan peran yang jauh lebih besar daripada sekedar rivalitas kekuasaan antarnegara. Misalnya, penanganan krisis perubahan iklim memerlukan kerja sama antara negara-negara di seluruh dunia dan partisipasi aktif dari berbagai organisasi internasional dan LSM. Neo-realisme, dengan pandangannya yang pesimis terhadap kemungkinan kerja sama internasional, sering kali tidak mampu menjelaskan dinamika ini secara efektif.
- Negara Bukan Robot
Neo-realisme memiliki pandangan deterministik terhadap hubungan internasional, di mana perilaku negara dianggap sepenuhnya ditentukan oleh struktur anarkis sistem internasional. Namun, kritik terhadap determinisme struktural ini menunjukkan bahwa neo-realisme sering kali mengabaikan kemampuan negara untuk bertindak secara independen dari batasan-batasan struktural. Dalam kenyataannya, banyak negara, terutama kekuatan menengah dan negara-negara berkembang, memiliki kemampuan untuk memengaruhi tatanan global melalui diplomasi, soft power, dan aliansi strategis. Negara-negara ini menunjukkan bahwa mereka dapat memainkan peran aktif dalam membentuk kebijakan internasional dan bukan sekadar menjadi korban dari struktur sistem internasional yang ada.
- Dunia Multipolar: Neo-Realisme Masih Nyambung?
Teori neo-realisme awalnya dikembangkan pada masa Perang Dingin, ketika dunia terbagi menjadi dua kekuatan utama: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti China, Uni Eropa dan India, dunia sekarang lebih kompeks dan multipolar. Dalam konteks ini, pendekatan neo-realisme yang berfokus pada rivalitas antarnegara besar tidak lagi sesuai dengan realitas politik global yang semakin terhubung dan beragam. Pertanyaan tentang relevansi neo-realsime dalam menganalisis dinamikan ini semakin mendesak, mengingat perubahan cepat dalam tatanan politik dan ekonomi global.
Meskipun neo-realisme memberikan landasan yang penting dalam analisis hubungan internasional, kritik terhadap teori ini menunjukkan bahwa pendekatannya yang sempit terhadap keamanan dan kekuasaan antarnegara tidak lagi memadai dalam menghadapi tantangan global saat ini. Kompleksitas aktor, tantangan non-militer, agensi negara, dan dinamika multipolaritas dunia modern menunjukkan bahwa teori ini perlu beradaptasi atau bahkan diintegrasikan dengan pendekatan lain untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Hanya dengan cara ini, kita dapat memahami realitas politik global yang terus berubah dan menantang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H