Lihat ke Halaman Asli

Berita

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bisa melihat punggung Leopold I dari tempat di mana aku duduk. Ia yang berdiri tegar di depannya istrinya, patung wanita kurus, khas perempuan ras aria yang tersiksa dari si suami yang mengharapkan putra. Apa rahim perempuan berpredikat Ratu ini hanya dihargai sebagai mesin pembuat anak? Selalu diorder untuk produksi bocah-bocah berpenis? Ufff.....

Angin musim panas berhembus dua menit sebelum beritamu sampai di GSMku. Cuaca Belgia memang cuaca paling kacau sedunia. Ngga ada konsepnya, kalaupun ada, konsepnya yang konsep cuaca Belgia. Dalam satu hari bisa jadi ada 4 musim. Subuh hujan lebat, menjelang siang panas, lalu dingin persis winter dan badai, menjelang malam hujan lagi dan tengah malam panas yang buat gerah tidak bisa tidur. Aneh! Rasanya kiamat kecil sudah dimulai di negri si Mannekepis ini.

Masih ingat cerita tentang payung S. Oliver yang seminggu lalu kau pinjamkan? Dengan badai barusan, payung itu sudah sampai pada kondisi tak layak pakai. Hmm... mungkin akan kubelikan kau payung baru. Mungkin karena absolut kau sudah siap dengan ujaran favoritmu, "Sudah, lupakan saja!"

"Dat gaat niet! ZOT!" teriakku.

LUPAKAN... itu sifat paling hewani yang melumpuhkan rasa kemanusiaan kita. LUPA telah membuat kita menjadi kebal, menjadi buta, tuli, masam dan busuk akan keadilan dan logkika perasaan. LUPA yang melegakan, yang membuat kita merasa UNTUNGLAH BISA (lupa), sekarang bagiku terasa memuakkan.

"Kita punya apa?" bukankah tiap hubungan -jika bisa disebut demikian- butuh mimpi bersama? Cita-cita yang meski cuma setinggi jamur roti, didoa dan diingatkan oleh kedua pihak. Mimpi bersama, apa kita punya? Selama ini kita cuma punya keringat dan pejuh bersama.

"Bonjour!" sapa seseorang di depanku. Ia mengerdip, tapi tidak kugibris. Bosan! Ujung-ujungnya juga lupa. Capek. Hubungan bongkar pasang yang kasat kusut.

Tiba-tiba aku ingat Parmin yang saat ini pastinya sedang sibuk belajar di kossan. Senin depan adalah hari terakhir ujiannya. "Kamu mau seperti ini sampai kapan?" pertanyaan yang mendengung seperti nasehat bagi seorang teman yang tersesat.

"Sampai ke pintu neraka!" jawabku tersinggung.

Ia mengangkat bahu, dengan air wajah 'terserah kau saja!'

"It's OVER!" dikirim dari whats app GSM mu. Aku tersenyum penuh kebebasan. Meskinya aku sadar ini sudah berakhir, jauh dulu saat pertama kalinya kau  berkata, "Lupakan saja!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline